Map Vision Indonesia

Peta Tutupan Lahan Menggunakan Citra Satelit

Last Updated on January 1, 2022 by Map Vision Indonesia

Peta tutupan lahan – Bagi perusahaan yang saat ini sedang mengurus Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk kegiatan usahanya seperti pertambangan, panas bumi, telekomunikasi, dan lain sebagainya, terdapat data yang harus disediakan seperti diantaranya data penginderaan jauh dan juga peta tutupan lahan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.27/Menlhk/Setjen/Kum.1/7/2018 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, Pasal 23 hurug g, data penginderaan jauh yang mesti disediakan yakni peta citra penginderaan jauh dengan resolusi minimal 5 meter liputan 1 tahun terakhir dilampiri dengan softcopy dengan koordinat sistem UTM Datum WGS 84.

Salah satu data penginderaan jauh yang dapat digunakan sesuai dengan ketentuan di atas yaitu data citra satelit multispektral (lebih dari 1 band) hasil perekaman satelit dengan sensor pasif.

Pembahasan lebih lanjut mengenai data citra satelit yang dapat digunakan untuk IPPKH, dapat Anda simak pada postingan berikut: Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).

BACA JUGA:

1). JenisJenis Citra Satelit

2). Apa itu Citra Satelit?

3). Mengenal Penginderaan Jauh

4). Siap-Siap!, Bakal Tersedia Citra Satelit dengan Resolusi 15 cm

5). Perbedaan Citra Foto dan Non Foto

Seperti telah disinggung pada paragraf awal, selain data citra satelit, untuk keperluan IPPKH, pihak pelaku usaha juga harus menyediakan peta tutupan lahan pada area termohon. Peta tutupan lahan dapat diperoleh dari hasil klasifikasi manual citra satelit hasil olahan, yang biasa kami sebut dengan proses mapping (interpretasi dan digitasi on screen).

Pengertian Peta Tutupan Lahan

Sebagaimana telah dibahas pada pembukaan tulisan ini, data citra satelit dan juga peta tutupan lahan merupakan beberapa data yang diperlukan dalam pengurusan IPPKH. Lalu apa itu peta tutupan lahan?.

Peta tutupan lahan merupakan peta yang memperlihatkan hasil klasifikasi penutup lahan di suatu wilayah yang terdapat di permukaan bumi menggunakan sebuah data, dimana data yang umumnya digunakan merupakan data penginderaan jauh seperti data citra satelit ataupun data yang diperoleh dari hasil perekaman wahana lain seperti drone, pesawat terbang, dan lain sebagainya.

Pengertian dan penggunaan istilah penutupan lahan kerap kali terbolakbalik dan tercampur dengan penggunaan lahan. Penutupan lahan sendiri didefinisikan sebagai penyebutan kelompok biofisik di permukaan bumi yang terdiri dari areal vegetasi, lahan terbuka, lahan terbangun, tubuh air, dan lahan basah (Liliesand et al. 1990), sedangkan penggunaan lahan untuk menunjukkan pemanfaatan atau penggunaan lahan oleh manusia dalam rangka kegiatan ekonomi dan sosial di sebuah wilayah.

Klasifikasi Tutupan Lahan

Secara umum terdapat dua cara melakukan klasifikasi terhadap data penginderaan jauh untuk menghasilkan peta tutupan lahan, yakni sebagai berikut:

1). Klasifikasi Manual   

Klasifikasi manual merupakan pengelompokkan kelas tutupan lahan dari sebuah data penginderaan jauh yang dilakukan secara manual melalui proses interpretasi seorang interpreter.

Kualitas hasil interpretasi secara manual sangat bergantung dari kemampuan orang yang melakukan interpretasi. Pemahaman dan penggunaan unsurunsur interpretasi seperti rona, warna, pola, tekstur, ukuran, bentuk, tinggi, bayangan, situs, dan asosiasi, ditambah pengalaman dalam melakukan interpretasi beragam citra penginderaan jauh dengan tingkat akurasi dan validasi yang tinggi, menjadi faktor penting dalam memperoleh hasil interpretasi yang memuaskan.

Selain itu, hasil interpretasi akan lebih baik lagi, jika seorang interpreter dibekali data penunjang pada area yang hendak diinterpretasi seperti data monografi, laporan penelitian, atau peta tutupan lahan hasil penafsiran yang telah dilakukan sebelumnya beserta fotofoto yang memperlihatkan kondisi tutupan lahan di area tersebut. Hal lainnya yang sangat membantu dalam proses interpretasi yakni seorang interpreter telah mengenal area yang hendak diinterpretasi, entah karena pernah tinggal atau pernah berkunjung ke area tersebut, sehingga mempunyai data atau setidaknya bayangan terhadap beragam tutupan lahan yang terdapat pada area tersebut.

Perkembangan teknologi penginderaan jauh yang saat ini telah menghadirkan foto udara dan citra satelit dengan resolusi spasial yang sangat tinggi, membuat proses interpretasi secara manual jauh lebih mudah dilakukan. Kenampakan objek yang detail yang terlihat dari citra satelit resolusi sangat tinggi dan juga foto udara, membuat seorang interpreter tidak terlalu kesulitan memberikan penafsiran terhadap beberapa objek, bahkan bagi mereka yang baru pertama kali melihat data tersebut. Namun, untuk penyajian hasil interpretasi yang terutamanya berupa peta tutupan lahan, proses interpretasi harus tetap dilakukan oleh mereka yang telah berpengalaman melakukannya, karena biasanya orang awam hanya dapat dengan tepat memberi penafsiran terhadap objekobjek yang telah familiar dengan mereka, serta tidak memiliki pengetahuan tentang standar klasifikasi tutupan atau penggunaan lahan dari suatu badan atau instansi tertentu.

Peta tutupan lahan melalui cara klasifikasi manual nantinya dihasilkan melalui proses interpretasi dan digitasi on screen (digitasi data penginderaan jauh menggunakan komputer) dari data citra satelit olahan, yang nantinya dikelompokkan sesuai kelas tutupan lahannya.

Salah satu kelemahan penggunaan klasifikasi manual yaitu waktu yang diperlukan dalam pembuatan peta tutupan lahan cukup lama dibandingkan dengan cara klasifikasi yang lain, terutamanya jika data penginderaan jauh yang digunakan mempunyai resolusi spasial sangat tinggi dengan wilayah yang luas serta beragamnya kondisi tutupan lahan di wilayah tersebut.

2). Klasifikasi Multispektral

Klasifikasi multispektral merupakan pengelompokkan kelas tutupan lahan dari sebuah data penginderaan jauh berdasarkan nilai spektralnya, dalam hal ini yaitu nilai masingmasing piksel penyusun atau biasa juga disebut dengan Digital Number (DN).

Untuk klasifikasi multispektral, diasumsikan bahwa pikselpiksel penyusun satu kelas penutupan lahan mempunyai kesamaan spektral.

 Jika pada klasifikasi manual seorang interpreter terlibat secara penuh dalam pengambilan keputusan untuk pengelompokkan kelas tutupan lahan, maka pada klasifikasi multispektral hal tersebut tidak dapat dilakukan, karena akan dilakukan secara semiotomatis dan otomatis oleh sebuah perangkat lunak (software).

Klasifikasi multispektral dibagi menjadi dua jenis berdasarkan tingkat otomasinya, yakni:

a). Klasifikasi Terselia (Supervised Classification)

Klasifikasi Terselia (Supervised Classification) merupakan jenis klasifikasi semi otomatis, karena ketika melakukan pengelompokkan kelas diperlukan terlebih dahulu pembuatan sampel atau contoh beberapa piksel penyusun sebuah penutup lahan yang diinterpretasi secara manual oleh interpreter. Sampel tersebut nantinya akan menjadi acuan bagi piksel lain yang mempunyai kesamaan spektral untuk dikelompokkan dalam kelas yang sama.

b). Klasifikasi Takterselia (Unsupervised Classification)

Jika pada Klasifikasi Terselia membutuhkan sebuah sampel sebagai acuan, maka pada Klasifikasi Tak-terselia tidak memerlukan hal tersebut.

Klasifikasi TakTerselia hampir menyerahkan semua kendali pada perangkat lunak komputer melalui perhitungan statistik citra menggunakan algoritma klusterisasi sehingga menghasilkan kelaskelas tutupan lahan sesuai dengan jumlah kelas yang sebelumnya telah ditentukan oleh kita. Oleh karenanya, Klasifikasi Takterselia merupakan jenis klasifikasi otomatis, karena campur tangan dari seorang operator atau interpreter sangat minim.

Tutorial Klasifikasi Multispektral baik untuk Klasifikasi Terselia (Supervised Classification) dan juga Klasifikasi Takterselia (Unsupervised Classification) dengan menggunakan software ENVI, dapat Anda pelajari pada ebook premium kami yang berjudul: “Pengolahan Citra Penginderaan Jauh”. Silahkan klik gambar di bawah, untuk menuju halaman ebook tersebut:

Kelebihan dari Klasifikasi Multispektral dibandingkan Klasifikasi Manual yaitu waktu pengerjaan lebih cepat, namun untuk hasilnya diperlukan pengujian kembali untuk mengetahui tingkat akurasinya.

Untuk pembuatan peta tutupan lahan bagi kepentingan IPPKH serta keperluan lainnya, kami di Map Vision Indonesia menggunakan Klasifikasi Manual yang dilakukan oleh interpreter yang telah berpengalaman membuat klasifikasi kelas tutupan lahan berdasarkan aturan yang berlaku dari sebuah instansi/badan.

Contoh peta tutupan lahan yang diperoleh dari hasil mapping data citra satelit olahan untuk keperluan IPPKH, dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Citra Satelit SPOT-7 Hasil Olahan dengan Resolusi Spasial Kelas 1.5 Meter Warna Natural

Citra Satelit SPOT7 Hasil Olahan dengan Resolusi Spasial Kelas 1.5 Meter Warna Natural
(Image Copyright: Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Peta Tutupan Lahan

Peta Tutupan Lahan Hasil Klasifikasi Manual dari Citra Satelit SPOT7 Hasil Olahan untuk Kepentingan IPPKH
(Courtesy of Map Vision Indonesia)

Pemanfaatan Peta Tutupan Lahan

Saat ini pembuatan peta tutupan lahan menggunakan citra satelit banyak digunakan untuk kepentingan IPPKH. Hal ini diperlukan untuk melihat posisi area termohon pada kawasan hutan, kondisi tutupan lahan pada area termohon, serta hal lainnya. Namun tentu saja pemanfaatan peta tutupan lahan menggunakan citra satelit tidak terbatas untuk keperluan IPPKH saja, tapi bisa untuk kepentingan lainnya seperti perencanaan tata ruang sebuah wilayah, analisis terhadap bencana yang terjadi di sebuah wilayah dengan melihat kondisi tutupan lahan, penelitian terkait tutupan lahan suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu, serta banyak lainnya.

Keunggulan Penggunaan Citra Satelit untuk Memperoleh Peta Tutupan Lahan

Penggunaan data citra satelit sebagai data yang digunakan untuk memperoleh peta tutupan lahan sangatlah efektif dan efisien, karena beberapa alasan sebagai berikut:

1). Data citra satelit dapat diperoleh dengan cepat.

Saat ini data arsip original citra satelit ratarata dapat diperoleh dalam hitungan hari dan paling lamanya sekitar 1 minggu setelah order dilakukan. Bahkan beberapa perusahaan penyedia data citra satelit seperti Airbus Defence & Space, mampu menyediakan dalam hitungan jam saja.

Untuk proses pengolahannya pun tidak memakan waktu yang lama, dimana untuk pengolahan standar umumnya memerlukan waktu pengerjaan maksimal hanya sekitar 1 minggu-an saja (estimasi waktu yang lebih presisi akan kami sampaikan kepada pihak customer dengan terlebih dahulu melihat jenis data citra satelit yang digunakan, jumlah scene yang meng-cover area order, penggunaan data acuan, serta lain sebagainya).

Kita tidak perlu berangkat langsung ke lapangan untuk mengambil tampilan di sebuah wilayah, yang menghabiskan waktu dan biaya yang tidak sedikit dibandingkan dengan pembelian dan pengolahan data original citra satelit.

2). Ketersediaan data citra satelit yang melimpah.

Sebuah satelit observasi bumi dapat kembali ke suatu wilayah dalam hitungan hari sampai minggu. Walau tidak selalu merekam sebuah wilayah ketika satelit kembali ke wilayah tersebut karena berbagai pertimbangan, namun tentunya ketersediaan data citra satelit di sebuah wilayah akan lebih banyak dibandingkan dengan data penginderaan jauh lain yang diambil secara langsung ke lapangan seperti misalnya data foto udara.

Hal yang perlu dilakukan pengecekan biasanya terkait tingkat tutupan awan serta terkadang sudut perekaman data citra satelit pada area order

Dengan ketersediaan data citra satelit yang melimpah, kita dapat menggunakan data citra satelit pada waktuwaktu yang kita inginkan untuk memperoleh peta tutupan lahan sebuah wilayah dalam kurun waktu tertentu, yang selanjutnya dapat kita lakukan analisis dan perbandingan terhadap peta yang dihasilkan.

3). Data citra satelit terdiri lebih dari 1 saluran (band).

Hampir sebagian besar data citra satelit yang dihasilkan oleh satelit observasi bumi memiliki lebih dari 1 saluran (band) atau biasa disebut dengan citra satelit multispektral dan jika salurannya sudah mencapai ratusan, biasa disebut dengan citra satelit hyperspektral.

Dengan jumlah band yang banyak tersebut, kita dapat melakukan analisis lebih lanjut mengenai kondisi objek di suatu wilayah, sehingga memudahkan kita untuk membuat peta tutupan lahan yang lebih akurat. Seperti misalnya keberadaan band inframerah dekat (near infrared) pada sebuah data citra satelit, dapat digunakan untuk membuat tampilan warna semu yang akan memudahkan seorang interpreter ketika melakukan interpretasi terutama untuk area vegetasi dan juga lahan terbangun.

***

Sekian postingan kali ini mengenai peta tutupan lahan dengan menggunakan citra satelit. Semoga bermanfaat, dan sampai jumpa pada postingan kami selanjutnya.

Terima kasih bagi yang telah share postingan ini di media sosial. Jika ada yang hendak ditanyakan atau ada saran terkait postingan selanjutnya, silahkan berkomentar pada kolom kometar yang ada di bawah.

POSTINGAN MENARIK LAINNYA:

1). [Tutorial] Membuka File Geodatabase di QGIS versi 3.x

2). [Tutorial] Menampilkan Informasi Cuaca di QGIS

3). [Tutorial] Cara Memperoleh Anotasi di Google Maps

4). [Tutorial] Membuat Area Buffer dalam Beberapa Radius Menggunakan QGIS

5). [Tutorial] Menghitung Volume Data Raster Menggunakan QGIS

Author: Map Vision IndonesiaMap Vision Indonesia merupakan team yang berisikan praktisi di bidang Citra Satelit, Penginderaan Jauh (Remote Sensing), Sistem Informasi Geografis (SIG), serta Pemetaan pada umumnya. Kami telah berpengalaman khususnya mengerjakan ratusan proyek pengadaan dan pengolahan serta mapping data citra satelit berbagai resolusi dari beragam vendor sejak tahun 2013.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: