Data citra satelit diperoleh dari hasil perekaman satelit yang beroperasi di luar angkasa yang berjarak ratusan kilometer dari paras bumi.
Data citra satelit yang dihasilkan tidak pernah terlepas dari kesalahan yang berasal dari internal satelit itu sendiri seperti disorientasi wahana ataupun berasal dari eksternal seperti gerakan rotasi bumi, efek kelengkungan bumi, efek topografi bumi terutama wilayah yang berbukit–bukit, dan lain sebagainya. Oleh karenanya diperlukan pengolahan untuk mengoreksi berbagai kesalahan tersebut, sehingga nantinya citra satelit “siap saji” untuk dilakukan analisis lebih lanjut, dimana kami menyebutnya sebagai pengolahan standar.
Pengolahan standar yang kami (Map Vision Indonesia) lakukan meliputi berbagai teknik pengolahan citra satelit seperti berikut ini:
Jika ingin langsung membaca pada bagian-bagian yang diinginkan, silahkan klik pada bagian sub-judul yang terdapat di Table of Contents:
Table of Contents
1). Pan–sharpening
Salah satu opsi pembelian data citra satelit original komersial dengan resolusi spasial sangat tinggi dan tinggi yaitu pembelian secara bundle, dimana data originalnya terdiri dari moda multispektral dan pankromatik.
Data original citra satelit moda multispektral merupakan data citra satelit yang terdiri dari band–band dalam spektrum elektromagnetik tertentu yang sudah dilakukan penggabungan (komposit). Umumnya data tersebut terdiri dari 4 band yang berada pada spektrum elektromagnetik cahaya tampak (visible) yang terdiri dari band merah (red), biru (blue), dan hijau (green), serta 1 band inframerah dekat (near infrared), namun dapat juga lebih dari 4 band, dimana hal tersebut tergantung dari berapa banyak band yang mampu direkam oleh sensor satelit.
Sedangkan untuk data original citra satelit dalam moda pankromatik merupakan data citra satelit yang hanya terdiri dari 1 band, namun berada pada panjang gelombang yang lebih lebar atau luas dibandingkan band–band data original citra satelit moda multispektral. Biasanya panjang gelombang band pankromatik berada dari spektrum elektromagnetik cahaya tampak (visible) hingga inframerah dekat (near infrared).
Masing-masing moda data citra satelit original memiliki kelebihan dan kekurangan.
Untuk data original citra satelit moda multispektral, kelebihannya terletak dari tampilannya yang berwarna karena dapat dilakukan kombinasi dari band–band tersebut untuk menampilkan sebuah tampilan warna, namun kekurangannya, tingkat resolusi spasialnya lebih rendah dibandingkan data original citra satelit moda pankromatik.
Berkebalikan dengan data citra satelit original moda multispektral, untuk data original citra satelit moda pankromatik mempunyai tampilan warna hitam putih, sehingga identifikasi objek yang berada pada citra satelit lebih sulit dilakukan, namun kelebihannya terletak pada tingkat resolusi spasialnya yang lebih tinggi dibandingkan data original citra satelit moda multispektral.
Untuk mendapatkan keunggulan dari masing–masing moda citra satelit tersebut, dapat digunakan metode yang bernama pan–sharpening.
Pan–sharpening merupakan metode untuk menggabungkan keunggulan dari data original citra satelit moda pankromatik berupa tingginya resolusi spasial dengan keunggulan dari data original citra satelit dalam moda multispektral berupa banyaknya band yang tersemat, sehingga nantinya didapatkan satu tampilan data citra satelit dengan resolusi spasial sesuai dengan yang dipunyai data original citra satelit moda pankromatik serta mempunyai jumlah band yang sesuai dengan banyaknya jumlah band yang dimiliki data original citra satelit moda multispektral.
Sederhananya, pengertian dari metode pan–sharpening adalah sebagai berikut:
Pan–sharpening: Data Citra Satelit Pankromatik dengan Resolusi Sangat Tinggi + Data Citra Satelit Multispektral = Data Citra Satelit Multispektral dengan Resolusi Sangat Tinggi |
Sebagai contoh penggunaan metode pan–sharpening, berikut kami sajikan tampilan data citra satelit original Pleiades-1B moda multispektral, moda pankromatik, dan hasil pan–sharpening:
Berdasarkan beberapa literatur, terdapat rasio maksimal tingkat resolusi spasial dari data original citra satelit moda multispektral dan pankromatik yang dapat dilakukan proses pan–sharpening, yakni 4:1. Sebagai contoh, proses pan–sharpening dapat dilakukan antara data citra satelit original SPOT-6 moda pankromatik yang mempunyai resolusi spasial 1.5 meter yang terdiri dari 1 band pankromatik, dengan data citra satelit original SPOT-6 moda multispektral yang terdiri dari 4 band VNIR, dengan resolusi spasial 6 meter. Perbandingan tingkat resolusi spasial diantara kedua citra satelit tersebut yakni 4:1, dan hal tersebut masih dapat dilakukan.
Sedangkan untuk contoh yang tidak dianjurkan misalnya kita hendak melakukan proses pan–sharpening antara data citra satelit original Sentinel-2A yang mempunyai resolusi spasial 10 meter, dengan data citra satelit original SPOT-6 moda pankromatik yang terdiri dari 1 band pankromatik, dengan resolusi spasial 1.5 meter. Rasio antara kedua citra itu yaitu 6.6:1, dan hal tersebut lebih dari rasio maksimal yang dianjurkan.
2). Koreksi Geometrik
Saat ini data original citra satelit komersial yang ingin Anda order sudah bergeoreferensi (mempunyai sistem proyeksi dan datum), yang biasanya disajikan dalam sistem proyeksi Universal Transverse Mercator (UTM) atau Geografis, dengan datum WGS 84.
Namun pada data original citra satelit tersebut masih terdapat berbagai distorsi dan kesalahan, yang berasal dari efek topografi bumi, gerakan rotasi bumi, disorientasi wahana, serta berbagai hal lainnya. Beragam distorsi dan kesalahan tersebut akan berdampak pada bentuk objek pada citra satelit yang berbeda dengan objek sebenarnya di lapangan, dengan dampak lebih jauhnya yaitu terdapat distorsi dalam pengukuran jarak, luas, dan sudut pada data citra satelit yang digunakan.
Oleh karenanya diperlukan proses pengolahan untuk meminimalisir beragam distorsi dan kesalahan serta meningkatkan tingkat akurasi data original citra satelit tersebut. Orthorektifikasi merupakan salah satu teknik yang kami lakukan untuk melakukan hal tersebut.
Proses orthorektifikasi memerlukan data acuan berupa data titik kontrol dan juga data ketinggian. Untuk data original citra satelit resolusi sangat tinggi dan tinggi saat ini pihak vendor sudah menyertakan data Rational Polynomial Coefficients (RPCs). Data tersebut merupakan sebuah model data yang memuat beberapa titik kontrol untuk meningkatkan tingkat akurasi serta meminimalisir kesalahan dan distorsi dari citra satelit tersebut, dengan cara melakukan koreksi geometris secara sistematis.
Pihak vendor sendiri biasanya memberikan informasi tingkat akurasi dari data original citra satelit yang mereka jual. Sebagai contoh, berdasarkan keterangan dari pihak vendor, tingkat akurasi horizontal data original Citra Satelit WorldView-2 pada CE90 dapat mencapai 3.5 meter (tanpa titik kontrol). Walaupun tidak ada keterangan berapa tingkat akurasi sebuah data citra satelit yang diolah menggunakan data RPCs, namun dapat diperkirakan bahwa tingkat akurasinya dapat lebih baik dibandingkan data original-nya saja, apalagi jika ditambah dengan data DEM dengan resolusi spasial dan akurasi yang tinggi, yang digunakan untuk meminimalisir distorsi dan kesalahan oleh bentuk topografi permukaan bumi.
Selain memerlukan titik kontrol, pada proses orthorektifikasi juga membutuhkan data DEM sebagai nilai input ketinggian. Saat ini sudah tersedia data DEMNAS untuk seluruh wilayah Indonesia yang dapat diperoleh secara gratis dan bebas. Data DEMNAS yang dirilis dari BIG bersumber dari data IFSAR (resolusi spasial 5 meter), TerraSAR-X (resolusi spasial 5 meter), dan ALOS PALSAR (resolusi spasial 11.25 meter), dengan menambahkan data Masspoint hasil stereo–plotting. Data DEMNAS disimpan dalam resolusi spasial 0.27-arcsecond atau sekitar 8 meter-an, dengan sistem proyeksi Geografis dan datum WGS 84. Oleh karenanya, kami menggunakan data DEMNAS sebagai data acuan nilai ketinggian untuk melakukan orthorektfikasi dibandingkan data DEM lain yang tersedia secara bebas seperti misalnya DEM SRTM.
Proses orthorektifikasi dapat juga menggunakan data acuan lain yang Anda miliki, seperti data titik kontrol hasil pengukuran langsung di lapangan (ground control point), data citra satelit atau data raster lainnya yang telah terkoreksi (sebaiknya mempunyai resolusi spasial yang sama atau lebih tinggi dibandingkan dengan data citra satelit yang hendak diolah), atau data vektor yang telah bergeroreferensi dan terkoreksi, sedangkan untuk data acuan ketinggian mempunyai resolusi spasial dan akurasi yang jauh lebih baik dibandingkan data DEMNAS, seperti misalnya data IFSAR, dan lain sebagainya.
Berikut ini merupakan contoh orthorektifikasi dengan menggunakan data citra satelit lain sebagai acuan atau disebut dengan Image to Image Orthorectification, yang disertai penggunaan RPCs dan data DEMNAS untuk mendapatkan nilai ketinggian:
Gambar 4 di atas memperlihatkan penggunaan data Citra Satelit WorldView–2 dengan resolusi spasial kelas 50 cm (0.5 m) yang telah terkoreksi geometrik sebagai data acuan pada proses image to image orthorectification data original Citra Satelit QuickBird dengan resolusi spasial kelas 50 cm (0.5 m).
Pada proses ini digunakan 48 titik kontrol serta ditambah dengan data RPC dan juga DEMNAS untuk memperoleh data ketinggian.
Dari hasil proses image to image orthorectification untuk data Citra Satelit QuickBird dengan data acuan yaitu data RPC, DEMNAS, serta data Citra Satelit WorldView-2 yang telah terkoreksi geometrik, dengan total 48 titik kontrol, diperoleh Root Mean Square (RMS): 1.15 piksel dengan XRMS: 0.88 piksel dan YRMS: 0.75 piksel.
Untuk melihat hasil dari proses image to image orthorectification, kita dapat melihat perbandingan antara data Citra Satelit QuickBird hasil pan–sharpening (belum terkoreksi geometrik) yang disandingkan dengan data acuan Citra Satelit WorldView–2, serta perbandingan antara data Citra Satelit QuickBird hasil image to image orthorectification dengan data acuan Citra Satelit WorldView–2, pada gambar-gambar di bawah ini:
Sebagai contoh untuk melihat perbandingan antara data Citra Satelit QuickBird hasil image to image orthorectification dengan data Citra Satelit WorldView–2 sebagai data acuan, kita dapat melihat sebuah titik yang ditempatkan pada objek di ujung sebuah atap rumah pada Gambar 6 (area yang dilingkari warna hijau), terlihat posisi titik tersebut hampir terlihat tidak mengalami pergeseran di antara kedua citra satelit tersebut.
Sedangkan untuk data Citra Satelit QuickBird hasil pan sharpening yang belum dikoreksi geometrik, posisi titik pada objek di ujung atap rumah mengalami pergeseran dengan titik pada data Citra Satelit WorldView–2 sebagai data acuan (dapat dilihat pada Gambar 5).
Tidak semua objek antara data Citra Satelit QuickBird hasil image to image orthorectification dengan data Citra Satelit WorldView–2 yang digunakan sebagai data acuan, posisinya akan hampir tepat, akan terdapat objek–objek yang sedikit mengalami pergeseran sesuai dengan nilai RMS yang dihasilkan pada proses image to image orthorectification.
Perlu diperhatikan juga bahwa ketika membandingkan posisi titik antara data Citra Satelit QuickBird dengan data Citra Satelit WorldView–2 akan terlihat bentuk atau besar sebuah bangunan yang sebenarnya tidak mengalami perubahan atau objek lainnya yang juga tidak mengalami perubahan, seperti tampak berbeda. Hal tersebut dipengaruhi oleh posisi sudut perekaman yang dilakukan oleh masing–masing satelit serta tingkat resolusi spasial yang dihasilkan oleh satelit–satelit tersebut, seperti contohnya dapat dilihat pada Gambar 7 di bawah ini:
Perhatikan objek rumah yang dilingkari warna hijau pada Gambar 7 di atas. Terlihat bentuk dan besar rumah tersebut seperti tampak berbeda, padahal sebenarnya masih sama. Efek dari sudut perekaman dan tingkat resolusi spasial yang berbeda dari kedua citra satelit tersebut, membuat kenampakan objek rumah berbeda diantara kedua citra satelit tersebut.
Contoh lain dari hasil pengolahan image to image orthorectification, dapat kita lihat di bawah ini:
Gambar 8 di atas memperlihatkan data Citra Satelit Pleiades–1A hasil pan–sharpening yang belum dikoreksi geometrik terhadap data yang digunakan sebagai acuan yakni data Citra Satelit WorldView–2 yang telah terkoreksi geometrik. Terlihat bahwa objek–objek pada data Citra Satelit Pleiades–1A seperti objek jalan (diperlihatkan oleh area yang dilingkari warna merah pada Gambar 8) tidak menyambung dengan objek jalan yang terdapat pada data Citra Satelit WorldView–2. Begitu juga dengan objek–objek lainnya seperti pematang sawah, bangunan, serta beberapa objek lainnya, yang belum terhubung secara pas di antara kedua data citra satelit tersebut.
Sedangkan untuk data Citra Satelit Pleiades–1A hasil image to image orthorectification (juga menggunakan data RPC sebagai titik kontrol, serta menggunakan data DEMNAS sebagai masukan nilai ketinggian) terlihat bahwa objek–objek sudah tersambung dengan data acuan Citra Satelit WorldView–2, seperti objek jalan (diperlihatkan oleh area yang dilingkari warna merah pada Gambar 9), pematang sawah, bangunan, pohon di area perkebunan, serta objek lainnya yang berada di area pertampalan.
Untuk melihat apakah proses image to image orthorectification sudah memberikan hasil yang baik (selain tentunya di awal dapat dilihat dari RMS yang dihasilkan), sebaiknya yang dilihat adalah posisi objek–objek yang terutamanya tidak mengalami perubahan bentuk dari data citra satelit yang dibandingkan yaitu misalnya objek jalan–jalan besar, pematang sawah, bangunan permanen, serta objek lainnya.
Sedangkan objek–objek yang kerap mengalami perubahan bentuk seperti contohnya sungai, baik yang berukuran besar ataupun kecil, kurang ideal untuk dijadikan patokan hasil proses image to image orthorectification, berhubung bentuk dari objek-objek tersebut mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Jadi misalnya ketika kita melihat sedikit perbedaan posisi objek sungai antar data citra satelit, tidak bisa langsung disimpulkan terjadi pergeseran antar data citra satelit, karena seringkali terjadi perbedaan lebar ataupun bentuk sungai diantara data citra satelit yang diolah, walaupun biasanya perubahannya tidak terlalu jauh berbeda.
3). Mosaic
Mosaic merupakan penggabungan dua atau lebih data citra satelit pada area yang saling bertampalan atau tumpang tindih (overlapping), sehingga nantinya menampilkan kesatuan data citra satelit yang utuh, selaras, dan berkesinambungan.
Proses mosaic hanya dapat dilakukan jika proses orthorektifikasi telah dilakukan dengan benar, sehingga nantinya posisi objek-objek di area pertampalan antar citra satelit sudah tepat satu sama lain atau setidaknya tidak mengalami pergeseran yang terlalu jauh.
Proses mosaic erat kaitannya dengan proses pengolahan lain seperti enhancement dan color balancing, atau cloud remove (situasional), serta pembuatan cutline.
Berikut ini perbandingan tampilan 5 data original Citra Satelit Pleiades-1B dengan data Citra Satelit Pleiades-1B hasil mosaic:
Gambar 10 di atas memperlihatkan kenampakan 5 data original Citra Satelit Pleiades–1B yang saling bertampalan di sebuah wilayah. Terlihat masing–masing data mempunyai tampilan warna sendiri, dan terlihat tidak menyatu satu sama lain.
Setelah dilakukan proses mosaic (yang sebelumnya telah dilakukan proses pan–sharpening dan orthorektifikasi, serta dilakukan pembuatan cutline, enhancement, dan color balancing), maka tampilan warnanya lebih seragam, dan terlihat lebih menyatu, yang diperlihatkan oleh Gambar 11 di atas.
Terdapat hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan mosaic ini, yaitu sebagai berikut:
a). Posisikan data citra satelit dengan tanggal perekaman lebih muda atau update, berada di atas data citra satelit dengan tanggal perekaman lebih tua. Hal ini bertujuan supaya tampilan objek–objek pada citra satelit hasil mosaic lebih update.
Namun hal tersebut tidak berlaku jika misalnya tutupan awan pada area pertampalan data citra satelit yang mempunyai tanggal perekaman lebih update tersebut cukup tinggi, sedangkan tutupan awan data citra satelit dengan tanggal perekaman lebih tua tersebut hampir tidak ada atau lebih sedikit.
b). Jika pada area pertampalan antar data citra satelit mempunyai tanggal perekaman yang sama atau tidak terlalu berbeda jauh, atau setelah dilakukan pengecekan ternyata tidak terdapat perbedaan objek, maka data citra satelit yang menjadi prioritas berada di posisi atas yakni yang mempunyai tingkat resolusi spasial tertinggi dan jika resolusi spasialnya sama maka dipilih yang memiliki sudut perekaman terendah, sehingga objek yang tampil merupakan objek dengan tingkat kedetailan yang tinggi dengan bentuk yang sesuai dengan kondisi di lapangan.
4). Enhancement
Enhancement merupakan proses koreksi tampilan visual dari data original citra satelit, sehingga dihasilkan aspek visual terbaik dari citra satelit dengan kenampakan warna antar objek yang kontras, tingkat kecerahan (brightness) yang pas, serta diupayakan tidak terdapat area tertentu pada data citra satelit yang terlalu terang (overexposed) atau kurang terang (underexposed).
Berikut ini contoh tampilan data Citra Satelit Pleaides-1A sebelum dan sesudah dilakukan proses enhancement:
Gambar 12 di atas memperlihatkan tampilan data Citra Satelit Pleaides–1A hasil pan–sharpening dengan warna natural, namun belum dilakukan proses enhancement. Terlihat tampilannya gelap, dengan tingkat kontras warna antar objek kurang “kuat”.
Setelah dilakukan proses enhancement, hasilnya dapat dilihat pada Gambar 13. Tampilan data Citra Satelit Pleaides–1A lebih “nyaman” untuk dilihat, dengan tampilan tingkat kecerahan yang pas, serta kontras warna antar objek yang cukup jelas.
Proses enhancement dapat dilakukan juga pada data citra satelit dengan tampilan warna hitam putih (monokromatik), seperti contohnya data Citra Satelit WorldView–1, sehingga nantinya tampilan hasil enhancement seolah–olah menyerupai warna natural.
Untuk membuat tampilan warna natural, sebuah data citra satelit setidaknya harus memiliki 3 band yang berada pada spektrum elektromagnetik cahaya tampak (visible) yang ditempatkan sesuai dengan salurannya. Oleh karena itu, untuk data Citra Satelit WorldView–1 yang hanya memiliki 1 band pankromatik saja, tampilan yang dapat disajikan yakni hanya tampilan warna hitam putih, seperti terlihat pada Gambar 14 di atas, dan tidak dapat dibuat tampilan warna natural sebenarnya. Namun untuk tampilan yang lebih estetik, kami “mengakali” dengan proses pengolahan yang membuatnya mempunyai tampilan warna yang seolah–olah seperti warna natural.
Dengan pengolahan yang kami lakukan, tampilan warna data Citra Satelit WorldView–1 dapat dibuat sesuai dengan warna dominan pada objek tersebut. Sebagai contoh pada Gambar 15 di atas, objek pohon yang berwarna hijau pada tampilan data citra satelit warna natural, dibuat berwarna hijau seluruhnya pada objek tersebut, begitu juga contoh lainnya seperti lahan terbuka yang berwarna coklat juga dibuat mendekati warna tersebut.
5). Color Balancing
Color Balancing merupakan proses penyamaan warna antar data citra satelit, yang terutamanya pada area pertampalan atau tumpang tindih (overlapping).
Color Balancing erat kaitannya dengan proses mosaic, karena setelah data citra satelit digabungkan (mosaic), proses berikutnya yang dilakukan ialah enhancement salah satu data citra satelit yang dijadikan sebagai acuan tampilan warna bagi data citra satelit lain dalam proses color balancing, sehingga hasil akhirnya diperoleh tampilan visual keseluruhan data citra satelit yang selaras.
Berikut contoh tampilan data citra satelit sebelum dan sesudah dilakukan color balancing:
Gambar 16 di atas memperlihatkan tampilan dua data Citra Satelit Pleiades–1B sebelum dilakukan color balancing (dan juga belum dilakukan proses orthorektifikasi dan cutline, namun telah dilakukan proses pan–sharpening).
Sedangkan Gambar 17 memperlihatkan tampilan dua data Citra Satelit Pleiades–1B setelah dilakukan color balancing, dan juga sebelumnya telah dilakukan proses pan–sharpening, orthorektifikasi, cutline, dan enhancement.
Terlihat tampilan warna natural dari dua data Citra Satelit Pleiades–1B setelah dilakukan enhancement dan color balancing sudah hampir menyerupai satu sama lain. Selain itu proses orthorektifikasi dan cutline yang telah dilakukan sebelumnya, membuat tampilan antar objek di area pertampalan antar data citra satelit sudah menyambung, dan sulit diketahui batas antar dua data citra satelit tersebut, sehingga tampilannya menyatu dan selaras satu sama lain.
Sebagai catatan, tidak semua proses color balancing akan menghasilkan tampilan warna yang menyerupai satu sama lain, dimana hal tersebut dapat terjadi karena perbedaan kondisi tutupan atau penggunaan lahan diantara data citra satelit tersebut. Sebagai contoh, tampilan sawah yang terdapat pada citra satelit yang satu berwarna hijau karena sedang musim tanam, sedangkan pada data citra satelit lain tampilannya berwarna kecoklat–coklatan karena sudah mengalami musim panen, sehingga yang tampak hanya tampilan tanahnya saja. Oleh karenanya ketika objek sawah tersebut berada di area pertampalan atau area yang saling tumpang tindih (overlapping) pada kedua data citra satelit tersebut, maka warnanya tidak akan pernah sama. Beberapa faktor lain juga dapat membuat tampilan antar data citra satelit tidak menyerupai satu sama lain walau sudah dilakukan proses color balancing, seperti kondisi atmosferik yang berbeda antar data citra satelit, warna objek yang ternyata sudah berbeda (misalnya sebuah bangunan pada data citra satelit satu berwarna merah, dan pada citra satelit lain berwarna biru), serta berbagai hal lainnya.
6). Cutline
Cutline merupakan bentuk potongan area pada sebuah data citra satelit, yang digunakan dalam proses mosaic.
Pembuatan cutline dilakukan untuk “menyamarkan” area pertampalan antar data citra satelit, sehingga tampilan data citra satelit hasil mosaic tampak sebagai satu kesatuan utuh (dengan catatan proses koreksi geometrik, enhancement, dan color balancing pada proses mosaic sudah dilakukan dengan baik dan benar).
Berikut ini contoh tampilan dua data Citra Satelit Pleiades-1B sebelum dan sesudah dilakukan pembuatan cutline:
Gambar 18 menunjukkan area pertampalan antara data Citra Satelit Pleiades–1B tanggal perekaman 8 Juni 2018 dengan data Citra Satelit Pleiades–1B tanggal perekaman 22 Februari 2018.
Posisi data Citra Satelit Pleiades–1B tanggal perekaman 8 Juni 2018 di atas tanggal perekaman 22 Februari 2018, sehingga posisi batas akhir area data Citra Satelit Pleiades–1B tanggal perekaman 8 Juni 2018 terlihat.
Batas antara kedua data citra satelit sangat tampak jelas, oleh karenanya selain diperlukan proses orthorektifikasi, enhancement ditambah color balancing, maka dapat dibuat sebuah cutline untuk “mengaburkan” batas antar kedua data citra satelit tersebut.
Hasil proses orthorektifikasi, enhancement, color balancing, serta cutline, dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Garis merah pada Gambar 19 menunjukkan cutline yang dibuat pada data Citra Satelit Pleiades–1B tanggal perekaman 8 Juni 2018, yang posisinya di atas tanggal perekaman 22 Februari 2018.
Sebenarnya dengan proses orthorektifikasi, enhancement dan color balancing yang benar dan bagus, akan cukup “mengaburkan” batas antar kedua data citra satelit tersebut, namun dengan penambahan pembuatan cutline akan semakin “mengaburkan” batasnya.
Jika tampilan warna antar data citra satelit setelah dilakukan enhancement dan color balancing tidak bisa benar–benar sama karena beberapa faktor yang telah dijelaskan pada bagian Color Balancing sebelumnya, maka pembuatan cutline jadi lebih terasa manfaatnya.
Jika Anda cukup detail mengamati tampilan warna antara data Citra Satelit Pleiades–1B tanggal perekaman 8 Juni 2018, terlihat terutamanya tampilan warna pada bagian daun kelapa sawit berwarna hijau yang lebih gelap dibandingkan tampilan warna daun kelapa sawit pada Citra Satelit Pleaides–1B tanggal perekaman 22 Februari 2018. Hal ini disebabkan, umur pohon kelapa sawit tanggal perekaman 8 Juni 2018 tentunya lebih tua dibandingkan tanggal perekaman 22 Februari 2018, sehingga daunnya akan lebih rimbun yang menyebabkan tampilan jarak antar pohon tidak terlalu jelas.
Untuk itu penggunaan cutline akan sangat membantu dalam “mengaburkan” batas antar kedua data citra satelit tersebut, seperti terlihat gambar di bawah ini:
Gambar 20 di atas menunjukkan data Citra Satelit Pleiades–1B tanggal perekaman 8 Juni 2018 yang telah dilakukan pembuatan cutline. Dengan menghilangkan tampilan cutline–nya, akan lebih sulit memperkirakan batas antara data Citra Satelit Pleaides–1B tanggal perekaman 8 Juni 2018 dengan tanggal perekaman 22 Februari 2018.
7). Kombinasi Warna
Data original citra satelit terdiri dari band–band yang mempunyai panjang gelombang tertentu yang berada pada sebuah spektrum elektromagnetik.
Umumnya untuk data original citra satelit resolusi sangat tinggi dan tinggi, terdiri dari 4 band yang berada pada spektrum elektromagnetik cahaya tampak (visible) dan inframerah dekat (near infrared) atau biasa disingkat dengan nama VNIR. Jika terdapat citra satelit yang memiliki lebih dari 4 band, maka 4 band yang biasanya sudah tersedia ialah yang berada pada spektrum elektromagnetik VNIR tersebut, sedangkan sisanya sangat tergantung dengan misi satelit penghasil citra tersebut. Sebagai contoh, Citra Satelit WorldView–2 terdiri dari 8 band, dengan 4 band utama berada pada spektrum elektromagnetik VNIR seperti band merah, biru, dan hijau, serta band inframerah dekat, sedangkan 4 band sisanya yaitu band kuning (yellow), tepi merah (red edge), inframerah dekat 2 (near infrared 2), dan pesisir warna biru (coastal blue).
Sedangkan untuk data citra satelit resolusi menengah dan rendah biasanya mempunyai jumlah band yang lebih banyak lagi. Sebagai contoh, data original Citra Satelit Landsat 8 terdiri dari 11 band, data original Citra Satelit Sentinel–2A memiliki 13 band, serta data citra satelt resolusi menengah dan rendah lainnya.
Kombinasi dari band–band yang terdapat pada data citra satelit akan menampilkan sebuah kenampakan warna yang dapat mempermudah proses interpretasi beragam objek yang terdapat pada data citra satelit tersebut.
Terdapat dua istilah kenampakan warna hasil kombinasi band–band yang terdapat pada data citra satelit yakni warna natural (natural color) dan warna tidak sebenarnya (false color).
Warna natural (natural color) merupakan istilah untuk tampilan warna objek–objek yang terdapat pada data citra satelit sesuai dengan yang terlihat oleh mata normal manusia, seperti contohnya warna vegetasi yang pada umumnya berwarna hijau, tanah yang berwarna coklat, laut berwarna biru, dan lain-lain.
Untuk mendapatkan tampilan warna natural, maka band–band yang terlibat dalam kombinasi berasal dari band–band yang berada pada spektrum elektromagnetik cahaya tampak (visible) yakni band merah (red), hijau (green), dan biru (blue). Band–band tersebut ditempatkan sesuai dengan salurannya, seperti band merah ditempatkan pada saluran merah, band hijau pada saluran hijau, dan band biru pada saluran biru.
Pada data citra satelit, masing–masing band diberi sebuah penomoran. Informasi mengenai hal itu biasanya disajikan dalam metadata citra satelit tersebut. Sebagai contoh, berikut kami sajikan band yang terdapat pada Citra Satelit Pleiades–1A beserta penomorannya:
Dari tabel 1 di atas, maka untuk membuat tampilan warna natural data Citra Satelit Pleiades–1A, kombinasi band yang dilakukan yaitu RGB 123, yang berarti band 1 ditempatkan pada saluran merah (Red – R), band 2 diletakkan pada saluran hijau (Green – G), dan band 3 ditempatkan pada saluran biru (Blue – B).
Terkadang penomoran data citra satelit yang satu sama dengan data citra satelit yang lainnya, namun sering juga berbeda. Oleh karenanya penting untuk melihat informasi penomoran band pada metadata data citra satelit tersebut. Sebagai contoh lainnya, kami sajikan daftar band pada data Citra Satelit WorldView–2 beserta penomorannya:
Dari tabel 2 di atas, kita dapat melihat bahwa penomoran band data Citra Satelit WorldView–2 berbeda dengan data Citra Satelit Pleaides–1A. Band merah berada pada band 3, band hijau pada band 2, dan band biru pada band 1. Oleh karenanya, kombinasi band untuk mendapatkan tampilan warna natural data Citra Satelit WorldView–2 yaitu RGB 321.
Dan berikut ini contoh tampilan warna natural data Citra Satelit Pleiades–1A:
Terlihat dari Gambar 21 di atas, warna berbagai objek yang tampak pada data Citra Satelit Pleaides–1A warna natural sesuai dengan yang terlihat oleh mata normal manusia. Sawah yang berwarna hijau, jalan dengan warna putih keabu–abuan, genteng rumah penduduk yang bewarna coklat, dan lain-lain.
Jika tampilan warna natural (natural color) dihasilkan dari kombinasi band dengan penempatan band yang sesuai dengan salurannya, maka warna tidak sebenarnya atau warna palsu (false color) dihasilkan dari penempatan band yang tidak sesuai dengan salurannya.
Sebagai contoh tampilan warna palsu, kombinasi band RGB 432 data Citra Satelit WorldView–2, menempatkan band 4 yaitu band inframerah dekat pada saluran merah (Red – R), kemudian band 3 yaitu band merah ditempatkan pada saluran hijau (Green – G), dan band 2 yaitu band hijau ditempatkan pada saluran biru (Blue – B). Penempatan band yang tidak sesuai dengan salurannya tersebut menghasilkan tampilan warna objek yang tidak sesuai dengan yang terlihat oleh mata normal manusia.
Untuk kombinasi band RGB 432 pada data Citra Satelit WorldView–2, tampilan warna vegetasi akan berwarna merah, lahan terbuka berwarna kehijau–hijauan, bangunan berwarna kebiru–biruan, serta berbagai objek lain dengan tampilan warna berbeda dengan yang terlihat oleh mata normal manusia.
Gambar 22 merupakan contoh tampilan Citra Satelit WorldView–2 hasil kombinasi band RGB 432. Terlihat bahwa sawah dan vegetasi lain berwarna merah, bangunan berwarna kehijau–hijauan, jalan dengan warna putih kehijau–hijauan.
Tampilan warna kombinasi band RGB 432 pada data Citra Satelit WorldView–2 sering diistilahkan sebagai warna merah semu, karena warna dominan pada data citra satelit yang terlihat, biasanya berwarna merah, berhubung band inframerah dekat yang ditempatkan pada saluran merah.
Tampilan warna palsu atau semu sendiri bermanfaat untuk memudahkan proses interpretasi. Sebagai contoh, tampilan warna merah semu dengan kombinasi band RGB 432 data Citra Satelit WorldView–2, akan lebih memudahkan seorang intrepreter dalam melakukan interpretasi, terutamanya untuk objek–objek vegetasi. Berbagai kombinasi band dapat dilakukan, sehingga menghasilkan tampilan warna semu lainnya, yang memudahkan untuk melakukan interpretasi terutama pada objek yang menjadi fokus interpretasi, seperti misalnya kombinasi band RGB 342 pada Citra Satelit WorldView–2, yang menghasilkan tampilan warna hijau semu yang digunakan untuk melakukan interpretasi terutamanya pada objek–objek area terbangun.
Pemanfaatan tampilan warna palsu atau semu lebih terasa manfaatnya pada data citra satelit resolusi menengah dan rendah. Kenampakan objek–objek yang tidak terlihat jelas dan detail, terutama pada objek–objek berukuran kecil, membuat proses interpretasi menjadi lebih sulit untuk data citra satelit resolusi menengah dan rendah. Oleh karenanya diperlukan kombinasi band yang dapat “menonjolkan” sebuah objek yang menjadi fokus interpretasi.
Sebagai contoh untuk tampilan hasil kombinasi band data citra satelit resolusi menengah, berikut kami sajikan perbandingan tampilan warna natural/sebenarnya (true color) dengan warna semu/palsu (false color) data Citra Satelit Landsat 8:
Tampilan warna semu/palsu (false color) dengan kombinasi band RGB 753, seperti yang diperlihatkan Gambar 24, akan memudahkan dalam identifikasi objek jalan yang terdapat pada data Citra Satelit Landsat 8, dibandingkan dengan tampilan warna natural/sebenarnya (true color) dengan kombinasi band RGB 432 (ditunjukkan oleh Gambar 23).
Contoh lainnya, kita dapat lebih mudah melakukan interpretasi area yang ditanami mangrove pada data Citra Satelit Landsat 8 dengan menggunakan tampilan warna semu/palsu (false color) melalui kombinasi band RGB 564, dibandingkan dengan tampilan warna natural/sebenarnya (true color) dengan kombinasi band RGB 432, seperti diperlihatkan gambar di bawah ini:
Objek mangrove pada tampilan warna semu/palsu (false color) data Citra Satelit Landsat 8 dengan kombinasi band RGB 564, mempunyai tampilan warna coklat pekat/gelap agak kemerah–merahan, sedangkan vegetasi yang bukan mangrove berwarna coklat terang, seperti ditunjukkan pada Gambar 25 di atas.
Kita dapat membandingkan dengan tampilan warna natural/sebenarnya (true color) data Citra Satelit Landsat 8. Objek mangrove lebih sulit diidentifikasi, karena tampilan warnanya tidak jauh berbeda dengan warna vegetasi lainnya.
Penggunaan warna semu/palsu (false color) memberikan kontras warna yang cukup berbeda, yang memudahkan kita dalam melakukan identifikasi terhadap objek yang menjadi fokus interpretasi, terutama pada data citra satelit resolusi spasial menengah dan rendah.
8). Cloud Remove
Cloud Remove merupakan proses menghilangkan keberadaan awan tebal pada sebuah data citra satelit, yang digantikan oleh data citra satelit lain yang mempunyai tutupan awan lebih rendah atau tidak ada sama sekali.
Sesuai dengan penjelasan di atas, maka pada proses cloud remove ini memerlukan setidaknya satu data citra satelit lain yang bertindak sebagai pengganti pada area berawan yang terdapat pada data citra satelit utama.
Berikut ini kami tampilkan contoh citra satelit sebelum dan sesudah proses pengolahan cloud remove:
Gambar 27 di atas memperlihatkan data Citra Satelit WorldView–2 sebagai data citra satelit utama (main scene) yang diorder. Terlihat pada bagian utara (atas) dari data citra satelit tersebut penuh dengan awan tebal. Untuk menghilangkan keberadaan awan tersebut, maka diperlukan proses cloud remove menggunakan data citra satelit lain yang mempunyai tutupan awan rendah atau tiada sama sekali terutama di bagian utara atau atas pada area order, yang bertindak sebagai data citra satelit pengganti (cloud patching scene).
Pada proses pengolahan cloud remove ini, kami menggunakan data Citra Satelit QuickBird sebagai data citra satelit pengganti (cloud patching scene), yang ditunjukkan oleh Gambar 28 di atas.
Hasil dari cloud remove ditunjukkan oleh Gambar 29 di atas. Terlihat bahwa keberadaan awan pada data citra satelit utama khususnya pada bagian utara (atas) sudah digantikan oleh data citra satelit lain yang lebih bebas dari awan.
Pengolahan cloud remove sendiri tentunya terkait dengan mosaic, karena hasil akhirnya berupa penggabungan data citra satelit utama dan pengganti. Oleh karenanya sebelum melakukan proses pengolahan cloud remove, kita sudah memastikan objek antar data citra satelit pada area yang overlaping sudah pas, melalui proses image to image orthorectification, dengan data citra satelit yang menjadi acuan biasanya data citra satelit utama. Setelah proses cloud remove, maka selanjutnya dilakukan pembuatan cutline, dan berikutnya enhancement serta color balancing antara data citra satelit utama dan pengganti.
Terdapat hal–hal yang perlu diperhatikan dalam proses pengolahan cloud remove, yaitu sebagai berikut:
a). Sebaiknya tanggal perekaman antara data citra satelit utama dengan pengganti tidak berbeda jauh, sehingga objek di area yang diganti tidak terdapat perubahan, atau kalaupun terjadi perubahan setidaknya tidak terlalu berubah jauh;
b). Tingkat resolusi spasial antara data citra satelit utama dengan pengganti tidak berbeda jauh, sehingga hasil mosaic yang diperoleh nantinya terlihat lebih selaras dan tidak jomplang.
9). Haze Reduction
Tidak semua awan yang terdapat pada sebuah data citra satelit harus dihilangkan dengan proses pengolahan cloud remove, untuk data citra satelit yang terdapat awan, kabut, atau asap yang tipis, maka dapat direduksi atau bahkan dihilangkan dengan proses pengolahan bernama haze reduction.
Untuk proses pengolahan haze reduction, tidak diperlukan data citra satelit pengganti seperti halnya pada cloud remove. Pengolahan hanya dilakukan pada data citra satelit tersebut.
Berikut ini contoh tampilan data citra satelit sebelum dan sesudah dilakukan proses pengolahan haze reduction:
Keberadaan awan tipis yang terdapat pada data Citra Satelit WorldView–2 (Gambar 24), sudah hampir tidak terlihat setelah dilakukan proses pengolahan haze reduction, yang hasilnya terlihat pada Gambar 31 di atas.
Contoh lain dari data citra satelit sebelum dan sesudah proses pengolahan haze reduction dalam tampilan objek yang lebih detail dapat dilihat di bawah ini:
Terlihat dari Gambar 33, hasil proses pengolahan haze reduction membuat keberadaan awan tipis tereduksi, yang mempermudah interpretasi terhadap objek–objek yang terdapat pada data citra satelit tersebut.
Terdapat hal yang perlu diperhatikan pada proses pengolahan haze reduction. Kerap kali proses pengolahan ini memberikan “efek samping” berupa tampilan warna objek yang berubah, terutama pada area yang terselimuti oleh awan tipis tersebut. Hal ini terkait dengan cara kerjanya yang mereduksi tampilan warna pada panjang gelombang tertentu. Jika ternyata tampilan warnanya banyak berubah, sehingga menyulitkan dalam proses interpretasi beragam objek yang terdapat pada data citra satelit tersebut, maka sebaiknya pengolahan ini tidak dilakukan.
10). Fill–Gap Data Citra Satelit Landsat 7
Satelit Landsat 7 mengalami kerusakan pada bagian Scan Line Corrector (SLC) pada tanggal 31 Mei 2003, yang mengakibatkan tampilan data citra satelit yang dihasilkan tidak sempurna.
Terdapat bagian yang berwarna hitam (stripping) pada data citra satelit, yang merupakan area yang tidak terekam oleh Satelit Landsat 7 – imbas dari kerusakan SLC tersebut. Stripping terdapat pada bagian sebelah kanan dan kiri dari data citra satelit, sedangkan bagian tengah biasanya masih terekam dengan sempurna.
Dengan demikian data Citra Satelit Landsat 7 yang dihasilkan mulai dari tanggal 31 Mei 2003 memiliki tampilan yang tidak sempurna, sedangkan citra satelit yang dihasilkan mulai dari awal satelit tersebut beroperasi yakni dari bulan April 1999 sampai dengan 30 Mei 2003, mempunyai tampilan yang sempurna.
Semenjak peristiwa kerusakan SLC pada Satelit LANDSAT 7 tersebut, pihak NASA USGS menamakannya dengan data Citra Satelit LANDSAT 7 SLC OFF, sedangkan data Citra Satelit yang dihasilkan sebelum kerusakan SLC, dinamakan dengan data Citra Satelit LANDSAT 7 SLC ON.
Untuk mengatasi kecacatan pada tampilan data Citra Satelit Landsat 7 yang mempunyai tanggal perekaman mulai dari 31 Mei 2003, diperlukan pengolahan yang bernama Fill–Gap.
Konsep pengolahan fill–gap sebenarnya tidak berbeda jauh dengan konsep cloud remove, dimana bagian yang berwarna hitam pada data Citra Satelit Landsat 7 SLC OFF diisi/diganti oleh data Citra Satelit Landsat 7 SLC ON. Oleh karenanya, data Citra Satelit Landsat 7 pengisi (SLC ON) yang dipilih harus memiliki tingkat tutupan awan sangat rendah dan kalau memungkinkan tidak banyak terjadi perubahan penggunaan lahan di wilayah tersebut.
Penggunaan minimal dua data citra satelit pada pengolahan fill–gap, membuatnya melibatkan pengolahan lain yakni enhancement dan color balancing, cutline, dan mosaic.
Contoh pengolahan fill–gap pada data Citra Satelit Landsat 7 ditunjukkan gambar di bawah ini:
Pada Gambar 34 di atas memperlihatkan preview tampilan data Citra Satelit Landsat 7 tanggal perekaman 24 Maret 2012, dimana terdapat area berwarna hitam (stripping), dan perlu dilakukan proses fill–gap menggunakan data Citra Satelit Landsat 7 lainnya. Untuk mengisi (fill) bagian berwarna hitam tersebut, kami menggunakan data Citra Satelit Landsat 7 tanggal perekaman 19 Juli 2002.
Melalui pengolahan fill–gap, hasilnya area berwarna hitam pada data citra satelit utama (SLC OFF) “diisi” oleh data citra satelit lain yang tidak mengalami kerusakan (SLC ON).
***
Tidak semua data citra satelit harus melalui semua tahapan pengolahan standar di atas, dimana hal tersebut sangat tergantung data citra satelit yang diolah. Sebagai contoh, tahapan pengolahan pan–sharpening tidak diperlukan untuk memperoleh data Citra Satelit Sentinel–2A dengan tampilan warna natural dan warna semu yang melibatkan band inframerah dekat, berhubung band–band tersebut memiliki resolusi spasial tertinggi yakni 10 meter. Pengolahan mosaic, color balancing dan cutline juga tidak diperlukan jika jumlah data citra satelit yang diolah pada sebuah area hanya ter–cover oleh satu data citra satelit saja. Begitu juga dengan pengolahan cloud removing dan haze reduction yang dilakukan jika data citra satelit utama memiliki tingkat tutupan awan yang tinggi. Sama halnya dengan pengolahan fill–gap, yang dilakukan hanya pada data original Citra Satelit Landsat 7 mulai dari tanggal perekaman 31 Mei 2003.
11). Format Penyimpanan Data Citra Satelit Hasil Olahan
Data citra satelit yang telah dilakukan tahap pengolahan, yang sebelumnya sudah dijabarkan, maka proses selanjutnya yaitu penyimpanan data.
Penyimpanan data dibuat dalam tiga format data yaitu GeoTIFF (.tif), Enhanced Compression Wavelet (.ecw), dan Keyhole Markup Language Zip (.kmz).
Data citra satelit dalam format GeoTIFF (.tif) merupakan data citra satelit tanpa mengalami kompresi (uncompressed). Format data ini ditujukan untuk pemetaan dan pengamatan detail objek–objek pada data citra satelit.
Data citra satelit dalam format ECW (.ecw) merupakan data citra satelit yang sudah mengalami kompresi (compressed). Tingkat rasio kompresi data citra satelit hasil olahan dapat dibuat dengan tingkat perbandingan sesuai keinginan kita. Namun jika ingin menjaga tingkat kedetailan, maka sebaiknya rasio dibuat 1:1 atau setidaknya tidak jauh dengan perbandingan tersebut, sehingga kualitas tampilan data masih terjaga. Data dalam format ECW memiliki ukuran file yang lebih kecil dibandingkan dengan format data GeoTIFF, oleh karena itu sangat baik digunakan untuk pengamatan secara cepat pada komputer tanpa mengurangi kualitas visual data.
Data citra satelit dalam format KMZ (.kmz) ditujukan supaya data citra satelit hasil olahan dapat dibuka dan dilihat pada aplikasi Google Earth.
***
Selain data citra satelit hasil olahan sebagai produk utama yang kami berikan kepada Anda yang order pembelian data original disertai pengolahannya, maka kami berikan juga beragam data lainnya sebagai data penunjang, tanpa harus keluar biaya tambahan, yaitu data-data sebagai berikut:
12). Poster & Preview
Kami membuatkan softcopy poster yang menampilkan tampilan data citra satelit hasil olahan warna natural pada bagian fokus area dan juga seluruh area order, seperti contohnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Pembuatan poster dibuat dengan skala dan ukuran kertas custom, dengan memperhatikan skala lazim maksimal data citra satelit yang digunakan serta ukuran kertas yang umumnya dapat dicetak oleh mesin cetak.
Selain itu, kami membuatkan juga tampilan sekilas (preview) tampilan data citra satelit hasil olahan warna natural (natural color) dan warna semu/palsu (false color) dan informasi lainnya, serta preview bentuk cutline masing-masing data citra satelit yang diolah (kalau terdapat proses mosaic), seperti ditunjukkan gambar di bawah ini:
13). Pembuatan Layout dan Map Book
Selain poster, kami juga membuat layout, namun dengan ukuran kertas yang sudah tetap, yakni A1 (59.4 cm x 84.1 cm) atau A0 (84.1 cm x 118.9 cm).
Kami membuat layout 1 halaman untuk data citra satelit hasil olahan pada bagian fokus area dan keseluruhan area order dengan skala mengikuti ukuran kertas (A1 atau A0). Berikut ini contoh tampilan layout-nya:
Selain membuat layout 1 halaman dengan skala mengikuti ukuran kertas A1 atau A0, kami juga membuat layout dengan skala lazim maksimal dari sebuah data citra satelit pada kertas ukuran A1 atau A0. Jika ternyata dengan menggunakan skala lazim maksimal tersebut, tidak bisa dibuat dalam 1 halaman layout, maka kami membuat rangkaian seri layout (biasa disebut dengan map book) yang memuat keseluruhan area order dengan skala lazim maksimal pada ukuran kertas A1 atau A0, contohnya seperti gambar di bawah ini:
Gambar 42 di atas memperlihatkan salah satu halaman (halaman 25) dari map book layout data olahan Citra Satelit Pleiades–1B warna natural dengan skala 1 : 2,500, pada ukuran kertas A1.
Keseluruhan area order data citra satelit tersebut ter–cover oleh 42 halaman layout, yang dibuat berdasarkan turunan Indeks Peta RBI skala 1 : 50,000, seperti terlihat pada gambar di bawah ini:
14). 3D View
Data citra satelit merupakan data raster dalam format 2 Dimensi (2D) yang memuat informasi nilai koordinat pada sumbu X dan Y. Untuk sistem proyeksi Geografis, sumbu X memperlihatkan nilai koordinat pada bagian bujur/longitude, dan sumbu Y pada bagian lintang/latitude.
Tampilan 2D data citra satelit membuat perbedaan ketinggian tidak terlalu terlihat, semua seperti tampak datar. Untuk melihat bentuk topografi dari data citra satelit terutama pada area yang berbukit–bukit ataupun ekstrem (terdapat area datar dan berbukit–bukit dalam sebuah wilayah), maka kami membuatkan tampilan 3 Dimensi (3D View) dari data citra satelit hasil olahan warna natural.
Untuk membuat tampilan 3D dari data citra satelit, dapat diperoleh melalui pengolahan data citra satelit stereo yaitu data citra satelit yang diambil setidaknya dari dua posisi perekaman yang berbeda, dapat dari posisi nadir dan backward (belakang), nadir dan forward (depan), backward dan forward, atau dari tiga posisi sekaligus yakni nadir, backward, dan forward.
Terdapat kendala dalam pembuatan tampilan 3D menggunakan data citra satelit stereo yakni jarang tersedianya data citra satelit tersebut untuk wilayah di Indonesia. Dan kalaupun tersedia, maka tingkat tutupan awan data citra satelit stereo tersebut harus sangat rendah yang mendekati tidak terdapat tutupan awan sama sekali. Selain itu, harganya lebih tinggi dibandingkan pembelian data citra satelit dalam satu posisi perekaman.
Cara lain untuk membuat tampilan 3D data citra satelit hasil olahan yakni dengan melakukan overlay antara data citra satelit hasil olahan dengan DEM yang bertindak sebagai nilai input ketinggian (Z), seperti contohnya ditunjukkan gambar di bawah ini:
Walaupun hasil yang diperoleh tidak sebaik dengan hasil pembuatan tampilan 3D dengan menggunakan data citra satelit stereo, namun tampilan 3D data citra satelit dengan bantuan penggunaan data DEM, dapat membantu untuk melihat secara global kondisi topografi pada area order data citra satelit.
Untuk data DEM sendiri, saat ini kami menggunakan data hasil pengolahan data DEMNAS dari BIG, yang dapat diperoleh secara gratis dan bebas. Data DEMNAS mempunyai resolusi spasial 0.27–arcsecond atau jika dikonversi ke dalam satuan meter yakni sekitar 8 meter, dengan sistem proyeksi Geodetik dan datum vertikal menggunakan EGM 2008. Data penyusun DEMNAS terdiri dari IFSAR (resolusi spasial 5 meter), TerraSAR–X (resolusi spasial 5 meter) dan ALOS PALSAR (resolusi spasial 11.25 meter), dengan menambahkan data Masspoint hasil stereo–plotting.
Tampilan 3D data citra satelit akan semakin baik dan bagus, jika menggunakan data DEM yang mempunyai tingkat akurasi dan resolusi spasial yang tinggi, dengan tanggal perekaman yang tidak jauh berbeda dengan data citra satelit hasil olahan.
15). 3D Flythrough
Untuk memberikan visualisasi lebih baik dan menarik, hasil tampilan 3D dapat disajikan dalam bentuk video, seperti contohnya dapat dilihat pada video-video berikut ini:
16). Data DEM Original dan Pengolahannya
Digital Elevation Model (DEM) merupakan data digital topografi yang memuat informasi nilai koordinat dalam sumbu X, Y, dan Z.
Data DEM diperoleh melalui perekaman satelit dengan sensor aktif (menggunakan sumber tenaga yang berasal dari satelit itu sendiri) yang biasanya menggunakan teknologi RADAR (Radio Detection and Ranging), penggunaan laser melalui teknologi LiDAR (Light Detection and Ranging), ataupun pengolahan lebih lanjut dari data citra satelit stereo atau foto udara.
Kami ikut menyertakan data original dan hasil olahan DEMNAS dari Badan Informasi Geospasial (BIG) dengan resolusi spasial 0.27–arcsecond atau jika dikonversi ke dalam satuan meter yakni sekitar 8 meter, dengan sistem proyeksi Geodetik dan datum vertikal menggunakan EGM 2008. Data penyusun DEMNAS terdiri dari IFSAR (resolusi spasial 5 meter), TerraSAR–X (resolusi spasial 5 meter) dan ALOS PALSAR (resolusi spasial 11.25 meter), dengan menambahkan data Masspoint hasil stereo–plotting, serta data DSM ALOS World 3D dari JAXA, yang mempunyai resolusi spasial kelas 30 meter, yang mencakup area order.
Dan berikut contoh tampilan data hasil olahan DEMNAS serta DSM ALOS World 3D:
17). Kontur
Kontur merupakan garis khayal di permukaan bumi yang menghubungkan titik-titik dengan ketinggian yang sama.
Salah satu cara untuk mendapatkan data kontur yaitu melalui pengolahan data DEM, seperti ditunjukkan gambar di bawah ini:
Gambar 48 di atas memperlihatkan kontur dengan interval 10 meter yang dihasilkan dari hasil pengolahan data DEMNAS.
18). Kemiringan Lereng (Slope) dan Luasan Kelas Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng (slope) menunjukkan besarnya sudut yang terbentuk dari perbedaan ketinggian pada sebuah bentang alam, yang biasanya disajikan dalam satuan persentase atau derajat.
Salah satu cara memperoleh data kemiringan lereng (slope) yaitu melalui pengolahan data DEM, contohnya seperti ditunjukkan gambar di bawah ini:
Melalui pengolahan lebih lanjut, kami sajikan juga data luasan kelas kemiringan lereng dalam bentuk fomat data .dbf, serta Excel (.xlsx).
Kami juga membuatkan poster kemiringan lereng yang disertai dengan keterangan luasan kelas kemiringan lereng, seperti diperlihatkan contoh di bawah ini:
Kami juga membuatkan poster data ketinggian yang bersumber dari data DEM, seperti diperlihatkan gambar di bawah ini:
19). Shaded Relief
Shaded Relief merupakan sebuah metode yang digunakan untuk mempresentasikan gambaran relief sebuah wilayah pada sebuah data raster yang masih dalam format 2–D (2 Dimensi) dengan cara memberikan kesan 3–D (3 Dimensi) pada data raster tersebut. Pemberian kesan 3–D tersebut dapat dilakukan dengan cara pemberian teknik pencahayaan dan bayangan yang tepat pada sebuah data raster.
Saat ini pada umumnya pembuatan shaded relief sebuah wilayah menggunakan data Digital Elevation Model (DEM), dimana dengan pemberian teknik pencahayaan dan bayangan yang tepat akan menghasilkan kesan tampilan 3D (tiga dimensi) dari data DEM tersebut.
Efek shaded relief dapat dilakukan pada data citra satelit melalui penggabungan antara data citra satelit dengan data DEM yang telah diberi efek shaded relief, seperti contoh di bawah ini:
20). Mapping
Mapping merupakan pembuatan peta tematik hasil dari interpretasi serta digitasi data citra satelit hasil olahan.
Proses interpretasi dan digitasi dilakukan secara manual oleh intrepreter GIS kami yang telah berpengalaman, untuk menghasilkan peta hasil mapping yang berkualitas.
Terdapat tambahan biaya untuk pembuatan peta hasil mapping, dengan besaran biaya tergantung dari tingkat resolusi spasial data citra satelit hasil olahan yang digunakan, tingkat kedetailan peta hasil mapping, kondisi tutupan lahan dan penggunaan lahan di area order, dan lain-lain.
21). Estimasi Temperatur Permukaan Suatu Wilayah
Band thermal yang terdapat pada data citra satelit, dapat digunakan untuk melakukan estimasi temperatur permukaan sebuah wilayah. Seperti yang dapat dilakukan pada band thermal data Citra Satelit Landsat, Citra Satelit ASTER, ataupun data citra satelit lain yang diketahui mempunyai band thermal.
Sebagai contoh, pada data Citra Satelit Landsat 8, band thermal terdapat pada band 10 dan band 11. Namun nilai yang terkandung pada band thermal tersebut masih berupa data Digital Number (DN), dan bukan nilai temperatur permukaan wilayah tersebut. Oleh karena itu diperlukan pengolahan pada band thermal tersebut sehingga dihasilkan nilai temperatur permukaan.
Alur pengolahan band thermal supaya didapatkan nilai temperatur permukaan adalah sebagai berikut:
Digital Number (DN) -> TOA Radian -> Temperatur Satelit (Kelvin) -> Temperatur Satelit (Celcius) -> Temperatur Permukaan (Celcius)
Perubahan nilai Digital Number menjadi TOA Radian kemudian menjadi Temperatur Satelit (Kelvin), dapat dibaca secara lengkap pada situs NASA USGS pada link berikut ini:
http://landsat.usgs.gov/Landsat8_Using_Product.php
Seperti yang tertera pada link di atas, konversi nilai DN menjadi TOA Radian dapat dilakukan menggunakan perumusan sebagai berikut:
dimana:
Sesudah didapatkan nilai TOA Radian, selanjutnya nilai tersebut dikonversi menjadi nilai temperatur kecerahan dari satelit, dengan menggunakan perumusan berikut:
dimana:
Untuk mengubahnya ke dalam bentuk Celcius, gunakan perumusan berikut:
Nilai yang didapat masih berupa temperatur kecerahan satelit. Untuk mengubahnya ke dalam nilai temperatur permukaan, dapat menggunakan perumusan sebagai berikut:
dimana:
Nilai e atau emisivitas sendiri dapat diketahui dengan sebelumnya dilakukan proses NDVI, dengan perumusan sebagai berikut:
dimana:
Dan, berikut contoh estimasi temperatur permukaan wilayah Kota Bandung dan sekitarnya hasil pengolahan data band thermal Citra Satelit Landsat 8 tanggal perekaman 10 September 2013:
Dari hasil pengolahan, terlihat wilayah Bandung bagian barat, tengah, dan sebagian besar utara, mempunyai temperatur permukaan lebih tinggi (diatas 30 derajat celcius) dibandingkan wilayah Bandung bagian timur ataupun selatan. Hal ini terkait dengan banyaknya area terbangun pada wilayah Bandung bagian barat ataupun tengah dibandingkan pada wilayah Bandung lainnya.
Terdapat tambahan biaya untuk pengolahan data citra satelit untuk mendapatkan estimasi temperatur permukaan suatu wilayah.
***
Untuk pengolahan data original citra satelit lain di luar yang telah kami jabarkan di atas, silahkan konsultasi terlebih dahulu dengan kami pada nomor WA/Telepon: 0878 2292 5861.
Belajar Pengolahan Citra Satelit Secara Mandiri (Otodidak)
Bagi Anda yang saat ini ingin mempelajari pengolahan data original citra satelit secara mandiri (otodidak), kami menjual e–book premium terkait hal tersebut. Untuk informasi lengkap, Anda dapat klik pada link berikut:
[E–book Premium] Pengolahan Citra Penginderaan Jauh
Semoga postingan mengenai Pengolahan Citra Satelit dapat memberikan Anda informasi yang detail mengenai berbagai pengolahan yang biasa dilakukan pada data citra satelit.
Jika Anda mendapat informasi yang bermanfaat dari postingan ini, silahkan share pada akun media sosial yang Anda miliki supaya kawan Anda mengetahui informasi berharga ini.
Jika ada yang ingin Anda tanyakan, silahkan berkomentar pada kolom komentar di bawah.