Map Vision Indonesia

Pengolahan Citra Satelit

Pengolahan Citra Satelit

Data citra satelit diperoleh dari hasil perekaman satelit yang beroperasi di luar angkasa yang berjarak ratusan kilometer dari paras bumi.

Data citra satelit yang dihasilkan tidak pernah terlepas dari kesalahan yang berasal dari internal satelit itu sendiri seperti disorientasi wahana ataupun berasal dari eksternal seperti gerakan rotasi bumi, efek kelengkungan bumi, efek topografi bumi terutama wilayah yang berbukitbukit, dan lain sebagainya. Oleh karenanya diperlukan pengolahan untuk mengoreksi berbagai kesalahan tersebut, sehingga nantinya citra satelitsiap sajiuntuk dilakukan analisis lebih lanjut, dimana kami menyebutnya sebagai pengolahan standar.

Pengolahan standar yang kami (Map Vision Indonesia) lakukan meliputi berbagai teknik pengolahan citra satelit seperti berikut ini:

Jika ingin langsung membaca pada bagian-bagian yang diinginkan, silahkan klik pada bagian sub-judul yang terdapat di Table of Contents:

1). Pansharpening

Salah satu opsi pembelian data citra satelit original komersial dengan resolusi spasial sangat tinggi dan tinggi yaitu pembelian secara bundle, dimana data originalnya terdiri dari moda multispektral dan pankromatik.

Data original citra satelit moda multispektral merupakan data citra satelit yang terdiri dari bandband dalam spektrum elektromagnetik tertentu yang sudah  dilakukan penggabungan (komposit). Umumnya data tersebut terdiri dari 4 band yang berada pada spektrum elektromagnetik cahaya tampak (visible) yang terdiri dari band merah (red), biru (blue), dan hijau (green), serta 1 band inframerah dekat (near infrared), namun dapat juga lebih dari 4 band, dimana hal tersebut tergantung dari berapa banyak band yang mampu direkam oleh sensor satelit.

Sedangkan untuk data original citra satelit dalam moda pankromatik merupakan data citra satelit yang hanya terdiri dari 1 band, namun berada pada panjang gelombang yang lebih lebar atau luas dibandingkan bandband data original citra satelit moda multispektral. Biasanya panjang gelombang band pankromatik berada dari spektrum elektromagnetik cahaya tampak (visible) hingga inframerah dekat (near infrared).

Masing-masing moda data citra satelit original memiliki kelebihan dan kekurangan.

Untuk data original citra satelit moda multispektral, kelebihannya terletak dari tampilannya yang berwarna karena dapat dilakukan kombinasi dari bandband tersebut untuk menampilkan sebuah tampilan warna, namun kekurangannya, tingkat resolusi spasialnya lebih rendah dibandingkan data original citra satelit moda pankromatik.

Berkebalikan dengan data citra satelit original moda multispektral, untuk data original citra satelit moda pankromatik mempunyai tampilan warna hitam putih, sehingga identifikasi objek yang berada pada citra satelit lebih sulit dilakukan, namun kelebihannya terletak pada tingkat resolusi spasialnya yang lebih tinggi dibandingkan data original citra satelit moda multispektral.

Untuk mendapatkan keunggulan dari masingmasing moda citra satelit tersebut, dapat digunakan metode yang bernama pansharpening.

Pansharpening merupakan metode untuk menggabungkan keunggulan dari data original citra satelit moda pankromatik berupa tingginya resolusi spasial dengan keunggulan dari data original citra satelit dalam moda multispektral berupa banyaknya band yang tersemat, sehingga nantinya didapatkan satu tampilan data citra satelit dengan resolusi spasial sesuai dengan yang dipunyai data original citra satelit moda pankromatik serta mempunyai jumlah band yang sesuai dengan banyaknya jumlah band yang dimiliki data original citra satelit moda multispektral.

 Sederhananya, pengertian dari metode pansharpening adalah sebagai berikut:

Pansharpening:
Data Citra Satelit Pankromatik dengan Resolusi Sangat Tinggi + Data Citra Satelit Multispektral = Data Citra Satelit Multispektral dengan Resolusi Sangat Tinggi

Sebagai contoh penggunaan metode pansharpening, berikut kami sajikan tampilan data citra satelit original Pleiades-1B moda multispektral, moda pankromatik, dan hasil pansharpening:

Data Citra Satelit Original Pleiades-1B Moda Pankromatik (1 Band)

Gambar 1. Data Original Citra Satelit Pleiades1B Moda Pankromatik (1 Band) dengan Resolusi Spasial Kelas 50 cm (0.5 m) di Wilayah Konawe Utara, Sulawesi Tenggara
(Image Copyright: Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Data Citra Satelit Original Pleiades-1B Moda Multispektral (4 Band VNIR)

Gambar 2. Data Original Citra Satelit Pleiades1B Moda Multispektral (4 Band VNIR) dengan Resolusi Spasial Kelas 200 cm (2 m) di Wilayah Konawe Utara, Sulawesi Tenggara
(Image Copyright: Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Data Citra Satelit Pleiades-1B Hasil Pan-sharpening (4 Band VNIR)

Gambar 3. Data Citra Satelit Pleiades1B Moda Multispektral (4 Band VNIR) Hasil Pansharpening dengan Resolusi Spasial Kelas 50 cm (0.5 m) di Wilayah Konawe Utara, Sulawesi Tenggara
(Image Copyright: Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Berdasarkan beberapa literatur, terdapat rasio maksimal tingkat resolusi spasial dari data original citra satelit moda multispektral dan pankromatik yang dapat dilakukan proses pansharpening, yakni 4:1. Sebagai contoh, proses pansharpening dapat dilakukan antara data citra satelit original SPOT-6 moda pankromatik yang mempunyai resolusi spasial 1.5 meter yang terdiri dari 1 band pankromatik, dengan data citra satelit original SPOT-6 moda multispektral yang terdiri dari 4 band VNIR, dengan resolusi spasial 6 meter. Perbandingan tingkat resolusi spasial diantara kedua citra satelit tersebut yakni 4:1, dan hal tersebut masih dapat dilakukan.

Sedangkan untuk contoh yang tidak dianjurkan misalnya kita hendak melakukan proses pansharpening antara data citra satelit original Sentinel-2A yang mempunyai resolusi spasial 10 meter, dengan data citra satelit original SPOT-6 moda pankromatik yang terdiri dari 1 band pankromatik, dengan resolusi spasial 1.5 meter. Rasio antara kedua citra itu yaitu 6.6:1, dan hal tersebut lebih dari rasio maksimal yang dianjurkan.

2). Koreksi Geometrik

Saat ini data original citra satelit komersial yang ingin Anda order sudah bergeoreferensi (mempunyai sistem proyeksi dan datum), yang biasanya disajikan dalam sistem proyeksi Universal Transverse Mercator (UTM) atau Geografis, dengan datum WGS 84.

Namun pada data original citra satelit tersebut masih terdapat berbagai distorsi dan kesalahan, yang berasal dari efek topografi bumi, gerakan rotasi bumi, disorientasi wahana, serta berbagai hal lainnya. Beragam distorsi dan kesalahan tersebut akan berdampak pada bentuk objek pada citra satelit yang berbeda dengan objek sebenarnya di lapangan, dengan dampak lebih jauhnya yaitu terdapat distorsi dalam pengukuran jarak, luas, dan sudut pada data citra satelit yang digunakan.

Oleh karenanya diperlukan proses pengolahan untuk meminimalisir beragam distorsi dan kesalahan serta meningkatkan tingkat akurasi data original citra satelit tersebut. Orthorektifikasi merupakan salah satu teknik yang kami lakukan untuk melakukan hal tersebut.

Proses orthorektifikasi memerlukan data acuan berupa data titik kontrol dan juga data ketinggian. Untuk data original citra satelit resolusi sangat tinggi dan tinggi saat ini pihak vendor sudah menyertakan data Rational Polynomial Coefficients (RPCs). Data tersebut merupakan sebuah model data yang memuat beberapa titik kontrol untuk meningkatkan tingkat akurasi serta meminimalisir kesalahan dan distorsi dari citra satelit tersebut, dengan cara melakukan koreksi geometris secara sistematis.

Pihak vendor sendiri biasanya memberikan informasi tingkat akurasi dari data original citra satelit yang mereka jual. Sebagai contoh, berdasarkan keterangan dari pihak vendor, tingkat akurasi horizontal data original Citra Satelit WorldView-2 pada CE90 dapat mencapai 3.5 meter (tanpa titik kontrol). Walaupun tidak ada keterangan berapa tingkat akurasi sebuah data citra satelit yang diolah menggunakan data RPCs, namun dapat diperkirakan bahwa tingkat akurasinya dapat lebih baik dibandingkan data original-nya saja, apalagi jika ditambah dengan data DEM dengan resolusi spasial dan akurasi yang tinggiyang digunakan untuk meminimalisir distorsi dan kesalahan oleh bentuk topografi permukaan bumi.

Selain memerlukan titik kontrol, pada proses orthorektifikasi juga membutuhkan data DEM sebagai nilai input ketinggian. Saat ini sudah tersedia data DEMNAS untuk seluruh wilayah Indonesia yang dapat diperoleh secara gratis dan bebas. Data DEMNAS yang dirilis dari BIG bersumber dari data IFSAR (resolusi spasial 5 meter), TerraSAR-X (resolusi spasial 5 meter), dan ALOS PALSAR (resolusi spasial 11.25 meter), dengan menambahkan data Masspoint hasil stereoplotting. Data DEMNAS disimpan dalam resolusi spasial 0.27-arcsecond atau sekitar 8 meter-an, dengan sistem proyeksi Geografis dan datum WGS 84. Oleh karenanya, kami menggunakan data DEMNAS sebagai data acuan nilai ketinggian untuk melakukan orthorektfikasi dibandingkan data DEM lain yang tersedia secara bebas seperti misalnya DEM SRTM.

Proses orthorektifikasi dapat juga menggunakan data acuan lain yang Anda miliki, seperti data titik kontrol hasil pengukuran langsung di lapangan (ground control point), data citra satelit atau data raster lainnya yang telah terkoreksi (sebaiknya mempunyai resolusi spasial yang sama atau lebih tinggi dibandingkan dengan data citra satelit yang hendak diolah), atau data vektor yang telah bergeroreferensi dan terkoreksi, sedangkan untuk data acuan ketinggian mempunyai resolusi spasial dan akurasi yang jauh lebih baik dibandingkan data DEMNAS, seperti misalnya data IFSAR, dan lain sebagainya.

Berikut ini merupakan contoh orthorektifikasi dengan menggunakan data citra satelit lain sebagai acuan atau disebut dengan Image to Image Orthorectification, yang disertai penggunaan RPCs  dan data DEMNAS untuk mendapatkan nilai ketinggian:

Image to Image Orthorectification

Gambar 4. Sebaran 48 Titik Kontrol Pada Proses Image to Image Orthorectification Pada Data Original Citra Satelit QuickBird (Bagian Kiri) dengan Data Acuan menggunakan Data Citra Satelit WorldView2 yang Telah Terkoreksi Geometrik (Bagian Kanan)
(Image Copyright: Maxar Technologies; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Gambar 4 di atas memperlihatkan penggunaan data Citra Satelit WorldView2 dengan resolusi spasial kelas 50 cm (0.5 m) yang telah terkoreksi geometrik sebagai data acuan pada proses image to image orthorectification data original Citra Satelit QuickBird dengan resolusi spasial kelas 50 cm (0.5 m).

Pada proses ini digunakan 48 titik kontrol serta ditambah dengan data RPC dan juga DEMNAS untuk memperoleh data ketinggian.

Dari hasil proses image to image orthorectification untuk data Citra Satelit QuickBird dengan data acuan yaitu data RPC, DEMNAS, serta data Citra Satelit WorldView-2 yang telah terkoreksi geometrik, dengan total 48 titik kontrol, diperoleh Root Mean Square (RMS): 1.15 piksel dengan XRMS: 0.88 piksel dan YRMS: 0.75 piksel.

Untuk melihat hasil dari proses image to image orthorectification, kita dapat melihat perbandingan antara data Citra Satelit QuickBird hasil pansharpening (belum terkoreksi geometrik) yang disandingkan dengan data acuan Citra Satelit WorldView2, serta perbandingan antara data Citra Satelit QuickBird hasil image to image orthorectification dengan data acuan Citra Satelit WorldView2, pada gambar-gambar di bawah ini:

Citra Satelit Hasil Koreksi Geometrik

Gambar 5. Citra Satelit QuickBird Hasil Pansharpening yang Belum Dikoreksi Geometrik Menggunakan Data Acuan Berupa Data Citra Satelit WorldVew2 yang Telah Terkoreksi Geometrik
(Image Copyright: Maxar Technologies; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Citra Satelit Belum Dikoreksi Geometrik

Gambar 6. Citra Satelit QuickBird Hasil Pansharpening yang Telah Dikoreksi Geometrik Menggunakan Data Acuan Berupa Data Citra Satelit WorldView2 yang Telah Terkoreksi Geometrik
(Image Copyright: Maxar Technologies; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Sebagai contoh untuk melihat perbandingan antara data Citra Satelit QuickBird hasil image to image orthorectification dengan data Citra Satelit WorldView2 sebagai data acuan, kita dapat melihat sebuah titik yang ditempatkan pada objek di ujung sebuah atap rumah pada Gambar 6 (area yang dilingkari warna hijau), terlihat posisi titik tersebut hampir terlihat tidak mengalami pergeseran di antara kedua citra satelit tersebut.

Sedangkan untuk data Citra Satelit QuickBird hasil pan sharpening yang belum dikoreksi geometrik, posisi titik pada objek di ujung atap rumah mengalami pergeseran dengan titik pada data Citra Satelit WorldView2 sebagai data acuan (dapat dilihat pada Gambar 5).

Tidak semua objek antara data Citra Satelit QuickBird hasil image to image orthorectification dengan data Citra Satelit WorldView2 yang digunakan sebagai data acuan, posisinya akan hampir tepat, akan terdapat objekobjek yang sedikit mengalami pergeseran sesuai dengan nilai RMS yang dihasilkan pada proses image to image orthorectification.

Perlu diperhatikan juga bahwa ketika membandingkan posisi titik antara data Citra Satelit QuickBird dengan data Citra Satelit WorldView2 akan terlihat bentuk atau besar sebuah bangunan yang sebenarnya tidak mengalami perubahan atau objek lainnya yang juga tidak mengalami perubahan, seperti tampak berbeda. Hal tersebut dipengaruhi oleh posisi sudut perekaman yang dilakukan oleh masingmasing satelit serta tingkat resolusi spasial yang dihasilkan oleh satelitsatelit tersebut, seperti contohnya dapat dilihat pada Gambar 7 di bawah ini:

Perbedaan Bentuk Sebuah Bangunan Di antara Dua Data Citra Satelit

Gambar 7. Perbedaan Tampilan Sebuah Objek Rumah Pada Data Citra Satelit QuickBird dengan Data Citra Satelit WorldView2
(Image Copyright: Maxar Technologies; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Perhatikan objek rumah yang dilingkari warna hijau pada Gambar 7 di atas. Terlihat bentuk dan besar rumah tersebut seperti tampak berbeda, padahal sebenarnya masih sama. Efek dari sudut perekaman dan tingkat resolusi spasial yang berbeda dari kedua citra satelit tersebut, membuat kenampakan objek rumah berbeda diantara kedua citra satelit tersebut.

Contoh lain dari hasil pengolahan image to image orthorectification, dapat kita lihat di bawah ini:

Citra Satelit Belum Dikoreksi Geometrik di Area Pertampalan

Gambar 8. Data Citra Satelit Pleiades1A Hasil Pansharpening yang Belum Terkoreksi Geometrik dengan Data Citra Satelit WorldView2 sebagai Data Acuan pada Area Pertampalan
(Image Copyright: Maxar Technologies, Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Citra Satelit yang Telah Dikoreksi Geometrik di Area Pertampalan

Gambar 9. Data Citra Satelit Pleiades1A Hasil Pansharpening yang Telah Terkoreksi Geometrik dengan Data Citra Satelit WorldView2 sebagai Data Acuan pada Area Pertampalan
(Image Copyright: Maxar Technologies, Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Gambar 8 di atas memperlihatkan data Citra Satelit Pleiades1A hasil pansharpening yang belum dikoreksi geometrik terhadap data yang digunakan sebagai acuan yakni data Citra Satelit WorldView2 yang telah terkoreksi geometrik. Terlihat bahwa objekobjek pada data Citra Satelit Pleiades1A seperti objek jalan (diperlihatkan oleh area yang dilingkari warna merah pada Gambar 8) tidak menyambung dengan objek jalan yang terdapat pada data Citra Satelit WorldView2. Begitu juga dengan objekobjek lainnya seperti pematang sawah, bangunan, serta beberapa objek lainnya, yang belum terhubung secara pas di antara kedua data citra satelit tersebut.

Sedangkan untuk data Citra Satelit Pleiades1A hasil image to image orthorectification (juga menggunakan data RPC sebagai titik kontrol, serta menggunakan data DEMNAS sebagai masukan nilai ketinggian) terlihat bahwa objekobjek sudah tersambung dengan data acuan Citra Satelit WorldView2, seperti objek jalan (diperlihatkan oleh area yang dilingkari warna merah pada Gambar 9), pematang sawah, bangunan, pohon di area perkebunan, serta objek lainnya yang berada di area pertampalan.

Untuk melihat apakah proses image to image orthorectification sudah memberikan hasil yang baik (selain tentunya di awal dapat dilihat dari RMS yang dihasilkan), sebaiknya yang dilihat adalah posisi objekobjek yang terutamanya tidak mengalami perubahan bentuk dari data citra satelit yang dibandingkan yaitu misalnya objek jalanjalan besar, pematang sawah, bangunan permanen, serta objek lainnya.

Sedangkan objekobjek yang kerap mengalami perubahan bentuk seperti contohnya sungai, baik yang berukuran besar ataupun kecil, kurang ideal untuk dijadikan patokan hasil proses image to image orthorectification, berhubung bentuk dari objek-objek tersebut mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Jadi misalnya ketika kita melihat sedikit perbedaan posisi objek sungai antar data citra satelit, tidak bisa langsung disimpulkan terjadi pergeseran antar data citra satelit, karena seringkali terjadi perbedaan lebar ataupun bentuk sungai diantara data citra satelit yang diolah, walaupun biasanya perubahannya tidak terlalu jauh berbeda.

3). Mosaic

Mosaic merupakan penggabungan dua atau lebih data citra satelit pada area yang saling bertampalan atau tumpang tindih (overlapping), sehingga nantinya menampilkan kesatuan data citra satelit yang utuh, selaras, dan berkesinambungan.

Proses mosaic hanya dapat dilakukan jika proses orthorektifikasi telah dilakukan dengan benar, sehingga nantinya posisi objek-objek di area pertampalan antar citra satelit sudah tepat satu sama lain atau setidaknya tidak mengalami pergeseran yang terlalu jauh.

Proses mosaic erat kaitannya dengan proses pengolahan lain seperti enhancement dan color balancing, atau cloud remove (situasional), serta pembuatan cutline.

Berikut ini perbandingan tampilan 5 data original Citra Satelit Pleiades-1B dengan data Citra Satelit Pleiades-1B hasil mosaic:

Citra Satelit Belum Dimosaic

Gambar 10. Tampilan 5 Data Original Citra Satelit Pleiades1B yang Saling Bertampalan di Sebuah Wilayah
(Image Copyright: Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Citra Satelit Hasil Mosaic

Gambar 11. Tampilan 5 Data Citra Satelit Pleiades1B yang Telah Digabungkan Menjadi Satu Kesatuan (Mosaic)
(Image Copyright: Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Gambar 10 di atas memperlihatkan kenampakan 5 data original Citra Satelit Pleiades1B yang saling bertampalan di sebuah wilayah. Terlihat masingmasing data mempunyai tampilan warna sendiri, dan terlihat tidak menyatu satu sama lain.

Setelah dilakukan proses mosaic (yang sebelumnya telah dilakukan proses pansharpening dan orthorektifikasi, serta dilakukan pembuatan cutline, enhancement, dan color balancing), maka tampilan warnanya lebih seragam, dan terlihat lebih menyatu, yang diperlihatkan oleh Gambar 11 di atas.

Terdapat hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan mosaic ini, yaitu sebagai berikut:

a). Posisikan data citra satelit dengan tanggal perekaman lebih muda atau update, berada di atas data citra satelit dengan tanggal perekaman lebih tua. Hal ini bertujuan supaya tampilan objekobjek pada citra satelit hasil mosaic lebih update.

 Namun hal tersebut tidak berlaku jika misalnya tutupan awan pada area pertampalan data citra satelit yang mempunyai tanggal perekaman lebih update tersebut cukup tinggi, sedangkan tutupan awan data citra satelit dengan tanggal perekaman lebih tua tersebut hampir tidak ada atau lebih sedikit.

b). Jika pada area pertampalan antar data citra satelit mempunyai tanggal perekaman yang sama atau tidak terlalu berbeda jauh, atau setelah dilakukan pengecekan ternyata tidak terdapat perbedaan objek, maka data citra satelit yang menjadi prioritas berada di posisi atas yakni yang mempunyai tingkat resolusi spasial tertinggi dan jika resolusi spasialnya sama maka dipilih yang memiliki sudut perekaman terendah, sehingga objek yang tampil merupakan objek dengan tingkat kedetailan yang tinggi dengan bentuk yang sesuai dengan kondisi di lapangan.

4). Enhancement

Enhancement merupakan proses koreksi tampilan visual dari data original citra satelit, sehingga dihasilkan aspek visual terbaik dari citra satelit dengan kenampakan warna antar objek yang kontras, tingkat kecerahan (brightness) yang pas, serta diupayakan tidak terdapat area tertentu pada data citra satelit yang terlalu terang (overexposed) atau kurang terang (underexposed).

Berikut ini contoh tampilan data Citra Satelit Pleaides-1A sebelum dan sesudah dilakukan proses enhancement:

Citra Satelit Sebelum Enhancement

Gambar 12. Data Citra Satelit Pleiades-1A Sebelum Dilakukan Proses Enhancement
(Image Copyright: Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Citra Satelit Sesudah Enhancement

Gambar 13. Data Citra Satelit Pleiades1A Sebelum Dilakukan Proses Enhancement
(Image Copyright: Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Gambar 12 di atas memperlihatkan tampilan data Citra Satelit Pleaides1A hasil pansharpening dengan warna natural, namun belum dilakukan proses enhancement. Terlihat tampilannya gelap, dengan tingkat kontras warna antar objek kurangkuat”.

Setelah dilakukan proses enhancement, hasilnya dapat dilihat pada Gambar 13. Tampilan data Citra Satelit Pleaides1A lebihnyamanuntuk dilihat, dengan tampilan tingkat kecerahan yang pas, serta kontras warna antar objek yang cukup jelas.

Proses enhancement dapat dilakukan juga pada data citra satelit dengan tampilan warna hitam putih (monokromatik), seperti contohnya data Citra Satelit WorldView1, sehingga nantinya tampilan hasil enhancement seolaholah menyerupai warna natural.

Citra Satelit WorldView-1 Warna Hitam Putih

Gambar 14. Citra Satelit WorldView1 Warna Hitam Putih (Monokrom)
(Image Copyright: Maxar Technologies; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Citra Satelit WorldView-1 False Color

Gambar 15. Citra Satelit WorldView1 Warna Palsu (False Color)
(Image Copyright: Maxar Technologies; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Untuk membuat tampilan warna natural, sebuah data citra satelit setidaknya harus memiliki 3 band yang berada pada spektrum elektromagnetik cahaya tampak (visible) yang ditempatkan sesuai dengan salurannya. Oleh karena itu, untuk data Citra Satelit WorldView1 yang hanya memiliki 1 band pankromatik saja, tampilan yang dapat disajikan yakni hanya tampilan warna hitam putih, seperti terlihat pada Gambar 14 di atas, dan tidak dapat dibuat tampilan warna natural sebenarnya. Namun untuk tampilan yang lebih estetik, kami “mengakali” dengan proses pengolahan yang membuatnya mempunyai tampilan warna yang seolaholah seperti warna natural.

Dengan pengolahan yang kami lakukan, tampilan warna data Citra Satelit WorldView1 dapat dibuat sesuai dengan warna dominan pada objek tersebut. Sebagai contoh pada Gambar 15 di atas, objek pohon yang berwarna hijau pada tampilan data citra satelit warna natural, dibuat berwarna hijau seluruhnya pada objek tersebut, begitu juga contoh lainnya seperti lahan terbuka yang berwarna coklat juga dibuat mendekati warna tersebut.

5). Color Balancing

Color Balancing merupakan proses penyamaan warna antar data citra satelit, yang terutamanya pada area pertampalan atau tumpang tindih (overlapping).

Color Balancing erat kaitannya dengan proses mosaic, karena setelah data citra satelit digabungkan (mosaic), proses berikutnya yang dilakukan ialah enhancement salah satu data citra satelit yang dijadikan sebagai acuan tampilan warna bagi data citra satelit lain dalam proses color balancing, sehingga hasil akhirnya diperoleh tampilan visual keseluruhan data citra satelit yang selaras.

Berikut contoh tampilan data citra satelit sebelum dan sesudah dilakukan color balancing:

Citra Satelit Sebelum Color Balancing

Gambar 16. Dua Data Citra Satelit Pleaides1B Sebelum Dilakukan Color Balancing
(Image Copyright: Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Citra Satelit Sesudah Color Balancing

Gambar 17. Dua Data Citra Satelit Pleaides1B Setelah Dilakukan Color Balancing
(Image Copyright: Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Gambar 16 di atas memperlihatkan tampilan dua data Citra Satelit Pleiades1B sebelum dilakukan color balancing (dan juga belum dilakukan proses orthorektifikasi dan cutline, namun telah dilakukan proses pansharpening).

Sedangkan Gambar 17 memperlihatkan tampilan dua data Citra Satelit Pleiades1B setelah dilakukan color balancing, dan juga sebelumnya telah dilakukan proses pansharpening, orthorektifikasi, cutline, dan enhancement.

Terlihat tampilan warna natural dari dua data Citra Satelit Pleiades1B setelah dilakukan enhancement dan color balancing sudah hampir menyerupai satu sama lain. Selain itu proses orthorektifikasi dan cutline yang telah dilakukan sebelumnya, membuat tampilan antar objek di area pertampalan antar data citra satelit sudah menyambung, dan sulit diketahui batas antar dua data citra satelit tersebut, sehingga tampilannya menyatu dan selaras satu sama lain.

Sebagai catatan, tidak semua proses color balancing akan menghasilkan tampilan warna yang menyerupai satu sama lain, dimana hal tersebut dapat terjadi karena perbedaan kondisi tutupan atau penggunaan lahan diantara data citra satelit tersebut. Sebagai contoh, tampilan sawah yang terdapat pada citra satelit yang satu berwarna hijau karena sedang musim tanam, sedangkan pada data citra satelit lain tampilannya berwarna kecoklatcoklatan karena sudah mengalami musim panen, sehingga yang tampak hanya tampilan tanahnya saja. Oleh karenanya ketika objek sawah tersebut berada di area pertampalan atau area yang saling tumpang tindih (overlapping) pada kedua data citra satelit tersebut, maka warnanya tidak akan pernah sama. Beberapa faktor lain juga dapat membuat tampilan antar data citra satelit tidak menyerupai satu sama lain walau sudah dilakukan proses color balancing, seperti kondisi atmosferik yang berbeda antar data citra satelit, warna objek yang ternyata sudah berbeda (misalnya sebuah bangunan pada data citra satelit satu berwarna merah, dan pada citra satelit lain berwarna biru), serta berbagai hal lainnya.

6). Cutline

Cutline merupakan bentuk potongan area pada sebuah data citra satelit, yang digunakan dalam proses mosaic.

Pembuatan cutline dilakukan untukmenyamarkanarea pertampalan antar data citra satelit, sehingga tampilan data citra satelit hasil mosaic tampak sebagai satu kesatuan utuh (dengan catatan proses koreksi geometrik, enhancement, dan color balancing pada proses mosaic sudah dilakukan dengan baik dan benar).

Berikut ini contoh tampilan dua data Citra Satelit Pleiades-1B sebelum dan sesudah dilakukan pembuatan cutline:

Citra Satelit Sebelum Cutline

Gambar 18. Citra Satelit Pleiades1B Tanggal Perekaman 8 Juni 2018 Sebelum Dilakukan Pembuatan Cutline
(Image Copyright: Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Gambar 18 menunjukkan area pertampalan antara data Citra Satelit Pleiades1B tanggal perekaman 8 Juni 2018 dengan data Citra Satelit Pleiades1B tanggal perekaman 22 Februari 2018.

Posisi data Citra Satelit Pleiades1B tanggal perekaman 8 Juni 2018 di atas tanggal perekaman 22 Februari 2018, sehingga posisi batas akhir area data Citra Satelit Pleiades1B tanggal perekaman 8 Juni 2018 terlihat.

Batas antara kedua data citra satelit sangat tampak jelas, oleh karenanya selain diperlukan proses orthorektifikasi, enhancement ditambah color balancing, maka dapat dibuat sebuah cutline untukmengaburkanbatas antar kedua data citra satelit tersebut.

Hasil proses orthorektifikasi, enhancement, color balancing, serta cutline, dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Citra Satelit Setelah Cutline

Gambar 19. Citra Satelit Pleiades1B Tanggal Perekaman 8 Juni 2018 Setelah Dilakukan Pembuatan Cutline, yang Ditunjukkan oleh Garis Merah
(Image Copyright: Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Garis merah pada Gambar 19 menunjukkan cutline yang dibuat pada data Citra Satelit Pleiades1B tanggal perekaman 8 Juni 2018, yang posisinya di atas tanggal perekaman 22 Februari 2018.

Sebenarnya dengan proses orthorektifikasi, enhancement dan color balancing yang benar dan bagus, akan cukupmengaburkanbatas antar kedua data citra satelit tersebut, namun dengan penambahan pembuatan cutline akan semakinmengaburkanbatasnya.

Jika tampilan warna antar data citra satelit setelah dilakukan enhancement dan color balancing tidak bisa benarbenar sama karena beberapa faktor yang telah dijelaskan pada bagian Color Balancing sebelumnya, maka pembuatan cutline jadi lebih terasa manfaatnya.

Jika Anda cukup detail mengamati tampilan warna antara data Citra Satelit Pleiades1B tanggal perekaman 8 Juni 2018, terlihat terutamanya tampilan warna pada bagian daun kelapa sawit berwarna hijau yang lebih gelap dibandingkan tampilan warna daun kelapa sawit pada Citra Satelit Pleaides1B tanggal perekaman 22 Februari 2018. Hal ini disebabkan, umur pohon kelapa sawit tanggal perekaman 8 Juni 2018 tentunya lebih tua dibandingkan tanggal perekaman 22 Februari 2018, sehingga daunnya akan lebih rimbun yang menyebabkan tampilan jarak antar pohon tidak terlalu jelas.

Untuk itu penggunaan cutline akan sangat membantu dalam “mengaburkanbatas antar kedua data citra satelit tersebut, seperti terlihat gambar di bawah ini:

Citra Satelit Setelah Cutline (Garisnya Dihilangkan)

Gambar 20. Citra Satelit Pleiades1B Tanggal Perekaman 8 Juni 2018 Setelah Dilakukan Pembuatan Cutline
(Image Copyright: Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Gambar 20 di atas menunjukkan data Citra Satelit Pleiades1B tanggal perekaman 8 Juni 2018 yang telah dilakukan pembuatan cutline. Dengan menghilangkan tampilan cutlinenya, akan lebih sulit memperkirakan batas antara data Citra Satelit Pleaides1B tanggal perekaman 8 Juni 2018 dengan tanggal perekaman 22 Februari 2018.

7). Kombinasi Warna

Data original citra satelit terdiri dari bandband yang mempunyai panjang gelombang tertentu yang berada pada sebuah spektrum elektromagnetik.

Umumnya untuk data original citra satelit resolusi sangat tinggi dan tinggi, terdiri dari 4 band yang berada pada spektrum elektromagnetik cahaya tampak (visible) dan inframerah dekat (near infrared) atau biasa disingkat dengan nama VNIR. Jika terdapat citra satelit yang memiliki lebih dari 4 band, maka 4 band yang biasanya sudah tersedia ialah yang berada pada spektrum elektromagnetik VNIR tersebut, sedangkan sisanya sangat tergantung dengan misi satelit penghasil citra tersebut. Sebagai contoh, Citra Satelit WorldView2 terdiri dari 8 band, dengan 4 band utama berada pada spektrum elektromagnetik VNIR seperti band merah, biru, dan hijau, serta band inframerah dekat, sedangkan 4 band sisanya yaitu band kuning (yellow), tepi merah (red edge), inframerah dekat 2 (near infrared 2), dan pesisir warna biru (coastal blue).

Sedangkan untuk data citra satelit resolusi menengah dan rendah biasanya mempunyai jumlah band yang lebih banyak lagi. Sebagai contoh, data original Citra Satelit Landsat 8 terdiri dari 11 band, data original Citra Satelit Sentinel2A memiliki 13 band, serta data citra satelt resolusi menengah dan rendah lainnya.

Kombinasi dari bandband yang terdapat pada data citra satelit akan menampilkan sebuah kenampakan warna yang dapat mempermudah proses interpretasi beragam objek yang terdapat pada data citra satelit tersebut.

Terdapat dua istilah kenampakan warna hasil kombinasi bandband yang terdapat pada data citra satelit yakni warna natural (natural color) dan warna tidak sebenarnya (false color).

Warna natural (natural color) merupakan istilah untuk tampilan warna objekobjek yang terdapat pada data citra satelit sesuai dengan yang terlihat oleh mata normal manusia, seperti contohnya warna vegetasi yang pada umumnya berwarna hijau, tanah yang berwarna coklat, laut berwarna biru, dan lain-lain.

Untuk mendapatkan tampilan warna natural, maka bandband yang terlibat dalam kombinasi berasal dari bandband yang berada pada spektrum elektromagnetik cahaya tampak (visible) yakni band merah (red), hijau (green), dan biru (blue). Bandband tersebut ditempatkan sesuai dengan salurannya, seperti band merah ditempatkan pada saluran merah, band hijau pada saluran hijau, dan band biru pada saluran biru.

Pada data citra satelit, masingmasing band diberi sebuah penomoran. Informasi mengenai hal itu biasanya disajikan dalam metadata citra satelit tersebut. Sebagai contoh, berikut kami sajikan band yang terdapat pada Citra Satelit Pleiades1A beserta penomorannya:

Band Citra Satelit Pleiades-1A

Tabel 1. Daftar Band Citra Satelit Pleiades1A

Dari tabel 1 di atas, maka untuk membuat tampilan warna natural data Citra Satelit Pleiades1A, kombinasi band yang dilakukan yaitu RGB 123, yang berarti band 1 ditempatkan pada saluran merah (RedR), band 2 diletakkan pada saluran hijau (GreenG), dan band 3 ditempatkan pada saluran biru (BlueB).

Terkadang penomoran data citra satelit yang satu sama dengan data citra satelit yang lainnya, namun sering juga berbeda. Oleh karenanya penting untuk melihat informasi penomoran band pada metadata data citra satelit tersebut. Sebagai contoh lainnya, kami sajikan daftar band pada data Citra Satelit WorldView2 beserta penomorannya:

Band Citra Satelit WorldView-2

Tabel 2. Daftar Band Citra Satelit WorldView2

Dari tabel 2 di atas, kita dapat melihat bahwa penomoran band data Citra Satelit WorldView2 berbeda dengan data Citra Satelit Pleaides1A. Band merah berada pada band 3, band hijau pada band 2, dan band biru pada band 1. Oleh karenanya, kombinasi band untuk mendapatkan tampilan warna natural data Citra Satelit WorldView2 yaitu RGB 321.

Dan berikut ini contoh tampilan warna natural data Citra Satelit Pleiades1A:

Tampilan Warna Natural Citra Satelit Pleiades-1A

Gambar 21. Tampilan Warna Natural Citra Satelit Pleaides1A dengan Kombinasi Band RGB 123
(Image Copyright: Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Terlihat dari Gambar 21 di atas, warna berbagai objek yang tampak pada data Citra Satelit Pleaides1A warna natural sesuai dengan yang terlihat oleh mata normal manusia. Sawah yang berwarna hijau, jalan dengan warna putih keabuabuan, genteng rumah penduduk yang bewarna coklat, dan lain-lain.

Jika tampilan warna natural (natural color) dihasilkan dari kombinasi band dengan penempatan band yang sesuai dengan salurannya, maka warna tidak sebenarnya atau warna palsu (false color) dihasilkan dari penempatan band yang tidak sesuai dengan salurannya.

Sebagai contoh tampilan warna palsu, kombinasi band RGB 432 data Citra Satelit WorldView2, menempatkan band 4 yaitu band inframerah dekat pada saluran merah (RedR), kemudian band 3 yaitu band merah ditempatkan pada saluran hijau (GreenG), dan band 2 yaitu band hijau ditempatkan pada saluran biru (Blue B). Penempatan band yang tidak sesuai dengan salurannya tersebut menghasilkan tampilan warna objek yang tidak sesuai dengan yang terlihat oleh mata normal manusia.

Untuk kombinasi band RGB 432 pada data Citra Satelit WorldView2, tampilan warna vegetasi akan berwarna merah, lahan terbuka berwarna kehijauhijauan, bangunan berwarna kebirubiruan, serta berbagai objek lain dengan tampilan warna berbeda dengan yang terlihat oleh mata normal manusia.

Data Olahan Citra Satelit WorldView-2 Warna Merah Semu

Gambar 22. Tampilan Warna Merah Semu Citra Satelit WorldView2 dengan Kombinasi Band RGB 432
(Image Copyright: Maxar Technologies; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Gambar 22 merupakan contoh tampilan Citra Satelit WorldView2 hasil kombinasi band RGB 432. Terlihat bahwa sawah dan vegetasi lain berwarna merah, bangunan berwarna kehijauhijauan, jalan dengan warna putih kehijauhijauan.

Tampilan warna kombinasi band RGB 432 pada data Citra Satelit WorldView2 sering diistilahkan sebagai warna merah semu, karena warna dominan pada data citra satelit yang terlihat, biasanya berwarna merah, berhubung band inframerah dekat yang ditempatkan pada saluran merah.

Tampilan warna palsu atau semu sendiri bermanfaat untuk memudahkan proses interpretasi. Sebagai contoh, tampilan warna merah semu dengan kombinasi band RGB 432 data Citra Satelit WorldView2, akan lebih memudahkan seorang intrepreter dalam melakukan interpretasi, terutamanya untuk objekobjek vegetasi. Berbagai kombinasi band dapat dilakukan, sehingga menghasilkan tampilan warna semu lainnya, yang memudahkan untuk melakukan interpretasi terutama pada objek yang menjadi fokus interpretasi, seperti misalnya kombinasi band RGB 342 pada Citra Satelit WorldView2, yang menghasilkan tampilan warna hijau semu yang digunakan untuk melakukan interpretasi terutamanya pada objekobjek area terbangun.

Pemanfaatan tampilan warna palsu atau semu lebih terasa manfaatnya pada data citra satelit resolusi menengah dan rendah. Kenampakan objekobjek yang tidak terlihat jelas dan detail, terutama pada objekobjek berukuran kecil, membuat proses interpretasi menjadi lebih sulit untuk data citra satelit resolusi menengah dan rendah. Oleh karenanya diperlukan kombinasi band yang dapatmenonjolkansebuah objek yang menjadi fokus interpretasi.

Sebagai contoh untuk tampilan hasil kombinasi band data citra satelit resolusi menengah, berikut kami sajikan perbandingan tampilan warna natural/sebenarnya (true color) dengan warna semu/palsu (false color) data Citra Satelit Landsat 8:

Citra Satelit Landsat 8 Warna Sebenarnya Kombinasi Band RGB 432

Gambar 23. Data Citra Satelit Landsat 8 Warna Natural/Sebenarnya (True Color) dengan Kombinasi Band RGB 432
(Image Copyright: NASA USGS; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Citra Satelit Landsat 8 Warna Semu Kombinasi Band RGB 753

Gambar 24. Data Citra Satelit Landsat 8 Warna Semu/Palsu (False Color) dengan Kombinasi Band RGB 753
(Image Copyright: NASA USGS; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Tampilan warna semu/palsu (false color) dengan kombinasi band RGB 753, seperti yang diperlihatkan Gambar 24, akan memudahkan dalam identifikasi objek jalan yang terdapat pada data Citra Satelit Landsat 8, dibandingkan dengan tampilan warna natural/sebenarnya (true color) dengan kombinasi band RGB 432 (ditunjukkan oleh Gambar 23).

Contoh lainnya, kita dapat lebih mudah melakukan interpretasi area yang ditanami mangrove pada data Citra Satelit Landsat 8 dengan menggunakan tampilan warna semu/palsu (false color) melalui kombinasi band RGB 564, dibandingkan dengan tampilan warna natural/sebenarnya (true color) dengan kombinasi band RGB 432, seperti diperlihatkan gambar di bawah ini:

Citra Satelit Landsat 8 Warna Semu Kombinasi Band RGB 564

Gambar 25. Data Citra Satelit Landsat 8 Warna Semu/Palsu (False Color) dengan Kombinasi Band RGB 564
(Image Copyright: NASA USGS; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Citra Satelit Landsat 8 Warna Sebenarnya Kombinasi Band RGB 432

Gambar 26. Data Citra Satelit Landsat 8 Warna Natural/Sebenarnya (True Color) dengan Kombinasi Band RGB 432
(Image Copyright: NASA USGS; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Objek mangrove pada tampilan warna semu/palsu (false color) data Citra Satelit Landsat 8 dengan kombinasi band RGB 564, mempunyai tampilan warna coklat pekat/gelap agak kemerahmerahan, sedangkan vegetasi yang bukan mangrove berwarna coklat terang, seperti ditunjukkan pada Gambar 25 di atas.

Kita dapat membandingkan dengan tampilan warna natural/sebenarnya (true color) data Citra Satelit Landsat 8. Objek mangrove lebih sulit diidentifikasi, karena tampilan warnanya tidak jauh berbeda dengan warna vegetasi lainnya.

Penggunaan warna semu/palsu (false color) memberikan kontras warna yang cukup berbeda, yang memudahkan kita dalam melakukan identifikasi terhadap objek yang menjadi fokus interpretasi, terutama pada data citra satelit resolusi spasial menengah dan rendah.

8). Cloud Remove

Cloud Remove merupakan proses menghilangkan keberadaan awan tebal pada sebuah data citra satelit, yang digantikan oleh data citra satelit lain yang mempunyai tutupan awan lebih rendah atau tidak ada sama sekali.

Sesuai dengan penjelasan di atas, maka pada proses cloud remove ini memerlukan setidaknya satu data citra satelit lain yang bertindak sebagai pengganti pada area berawan yang terdapat pada data citra satelit utama.

Berikut ini kami tampilkan contoh citra satelit sebelum dan sesudah proses pengolahan cloud remove:

Citra Satelit Utama

Gambar 27. Citra Satelit WorldView2 dengan Resolusi Spasial Kelas 0.5 m (50 cm) sebagai Citra Satelit Utama (Main Scene)
(Image Copyright: Maxar Technologies; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Citra Satelit Pengganti

Gambar 28. Citra Satelit QuickBird dengan Resolusi Spasial Kelas 0.5 m (50 cm) sebagai Citra Satelit Pengganti (Cloud Patching Scene)
(Image Copyright: Maxar Technologies; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Citra Satelit Hasil Cloud Remove

Gambar 29. Citra Satelit Hasil Cloud Remove (WorldView2 dan QuickBird) dengan Resolusi Spasial Kelas 0.5 m (50 cm)
(Image Copyright: Maxar Technologies; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Gambar 27 di atas memperlihatkan data Citra Satelit WorldView2 sebagai data citra satelit utama (main scene) yang diorder. Terlihat pada bagian utara (atas) dari data citra satelit tersebut penuh dengan awan tebal. Untuk menghilangkan keberadaan awan tersebut, maka diperlukan proses cloud remove menggunakan data citra satelit lain yang mempunyai tutupan awan rendah atau tiada sama sekali terutama di bagian utara atau atas pada area order, yang bertindak sebagai data citra satelit pengganti (cloud patching scene).

Pada proses pengolahan cloud remove ini, kami menggunakan data Citra Satelit QuickBird sebagai data citra satelit pengganti (cloud patching scene), yang ditunjukkan oleh Gambar 28 di atas.

Hasil dari cloud remove ditunjukkan oleh Gambar 29 di atas. Terlihat bahwa keberadaan awan pada data citra satelit utama khususnya pada bagian utara (atas) sudah digantikan oleh data citra satelit lain yang lebih bebas dari awan.

Pengolahan cloud remove sendiri tentunya terkait dengan mosaic, karena hasil akhirnya berupa penggabungan data citra satelit utama dan pengganti. Oleh karenanya sebelum melakukan proses pengolahan cloud remove, kita sudah memastikan objek antar data citra satelit pada area yang overlaping sudah pas, melalui proses image to image orthorectification, dengan data citra satelit yang menjadi acuan biasanya data citra satelit utama. Setelah proses cloud remove, maka selanjutnya dilakukan pembuatan cutline, dan berikutnya enhancement serta color balancing antara data citra satelit utama dan pengganti.

Terdapat halhal yang perlu diperhatikan dalam proses pengolahan cloud remove, yaitu sebagai berikut:

a). Sebaiknya tanggal perekaman antara data citra satelit utama dengan pengganti tidak berbeda jauh, sehingga objek di area yang diganti tidak terdapat perubahan, atau kalaupun terjadi perubahan setidaknya tidak terlalu berubah jauh;

b). Tingkat resolusi spasial antara data citra satelit utama dengan pengganti tidak berbeda jauh, sehingga hasil mosaic yang diperoleh nantinya terlihat lebih selaras dan tidak jomplang.

9). Haze Reduction

Tidak semua awan yang terdapat pada sebuah data citra satelit harus dihilangkan dengan proses pengolahan cloud remove, untuk data citra satelit yang terdapat awan, kabut, atau asap yang tipis, maka dapat direduksi atau bahkan dihilangkan dengan proses pengolahan bernama haze reduction.

Untuk proses pengolahan haze reduction, tidak diperlukan data citra satelit pengganti seperti halnya pada cloud remove. Pengolahan hanya dilakukan pada data citra satelit tersebut.

Berikut ini contoh tampilan data citra satelit sebelum dan sesudah dilakukan proses pengolahan haze reduction:

Citra Satelit Sebelum Haze Reduction

Gambar 30. Data Citra Satelit WorldView2 Sebelum Dilakukan Proses Pengolahan Haze Reduction
(Image Copyright: Maxar Technologies; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Citra Satelit Sesudah Haze Reduction

Gambar 31. Data Citra Satelit WorldView2 Setelah Dilakukan Proses Pengolahan Haze Reduction
(Image Copyright: Maxar Technologies; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Keberadaan awan tipis yang terdapat pada data Citra Satelit WorldView2 (Gambar 24), sudah hampir tidak terlihat setelah dilakukan proses pengolahan haze reduction, yang hasilnya terlihat pada Gambar 31 di atas.

Contoh lain dari data citra satelit sebelum dan sesudah proses pengolahan haze reduction dalam tampilan objek yang lebih detail dapat dilihat di bawah ini:

Citra Satelit Sebelum Haze Reduction (Detail)

Gambar 32. Data Citra Satelit QuickBird Sebelum Dilakukan Proses Pengolahan Haze Reduction
(Image Copyright: Maxar Technologies; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Citra Satelit Sesudah Haze Reduction (Detail)

Gambar 33. Data Citra Satelit QuickBird Setelah Dilakukan Proses Pengolahan Haze Reduction
(Image Copyright: Maxar Technologies; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Terlihat dari Gambar 33, hasil proses pengolahan haze reduction membuat keberadaan awan tipis tereduksi, yang mempermudah interpretasi terhadap objekobjek yang terdapat pada data citra satelit tersebut.

Terdapat hal yang perlu diperhatikan pada proses pengolahan haze reduction. Kerap kali proses pengolahan ini memberikanefek sampingberupa tampilan warna objek yang berubah, terutama pada area yang terselimuti oleh awan tipis tersebut. Hal ini terkait dengan cara kerjanya yang mereduksi tampilan warna pada panjang gelombang tertentu. Jika ternyata tampilan warnanya banyak berubah, sehingga menyulitkan dalam proses interpretasi beragam objek yang terdapat pada data citra satelit tersebut, maka sebaiknya pengolahan ini tidak dilakukan.

10). FillGap Data Citra Satelit Landsat 7

Satelit Landsat 7 mengalami kerusakan pada bagian Scan Line Corrector (SLC) pada tanggal 31 Mei 2003, yang mengakibatkan tampilan data citra satelit yang dihasilkan tidak sempurna.

Terdapat bagian yang berwarna hitam (stripping) pada data citra satelit, yang merupakan area yang tidak terekam oleh Satelit Landsat 7 – imbas dari kerusakan SLC tersebut. Stripping terdapat pada bagian sebelah kanan dan kiri dari data citra satelit, sedangkan bagian tengah biasanya masih terekam dengan sempurna.

Dengan demikian data Citra Satelit Landsat 7 yang dihasilkan mulai dari tanggal 31 Mei 2003 memiliki tampilan yang tidak sempurna, sedangkan citra satelit yang dihasilkan mulai dari awal satelit tersebut beroperasi yakni dari bulan April 1999 sampai dengan 30 Mei 2003, mempunyai tampilan yang sempurna.

Semenjak peristiwa kerusakan SLC pada Satelit LANDSAT 7 tersebut, pihak NASA USGS menamakannya dengan data Citra Satelit LANDSAT 7 SLC OFF, sedangkan data Citra Satelit yang dihasilkan sebelum kerusakan SLC, dinamakan dengan data Citra Satelit LANDSAT 7 SLC ON.

Untuk mengatasi kecacatan pada tampilan data Citra Satelit Landsat 7 yang mempunyai tanggal perekaman mulai dari 31 Mei 2003, diperlukan pengolahan yang bernama FillGap.

Konsep pengolahan fillgap sebenarnya tidak berbeda jauh dengan konsep cloud remove, dimana bagian yang berwarna hitam pada data Citra Satelit Landsat 7 SLC OFF diisi/diganti oleh data Citra Satelit Landsat 7 SLC ON. Oleh karenanya, data Citra Satelit Landsat 7 pengisi (SLC ON) yang dipilih harus memiliki tingkat tutupan awan sangat rendah dan kalau memungkinkan tidak banyak terjadi perubahan penggunaan lahan di wilayah tersebut.

Penggunaan minimal dua data citra satelit pada pengolahan fillgap, membuatnya melibatkan pengolahan lain yakni enhancement dan color balancing, cutline, dan mosaic.

Contoh pengolahan fillgap pada data Citra Satelit Landsat 7 ditunjukkan gambar di bawah ini:

Proses Fill-Gap Data Citra Satelit Landsat 7 (Image Copyright: NASA USGS; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Gambar 34. Proses FillGap Data Citra Satelit Landsat 7
(Image Copyright: NASA USGS; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Pada Gambar 34 di atas memperlihatkan preview tampilan data Citra Satelit Landsat 7 tanggal perekaman 24 Maret 2012, dimana terdapat area berwarna hitam (stripping), dan perlu dilakukan proses fillgap menggunakan data Citra Satelit Landsat 7 lainnya. Untuk mengisi (fill) bagian berwarna hitam tersebut, kami menggunakan data Citra Satelit Landsat 7 tanggal perekaman 19 Juli 2002.

Melalui pengolahan fillgap, hasilnya area berwarna hitam pada data citra satelit utama (SLC OFF) “diisioleh data citra satelit lain yang tidak mengalami kerusakan (SLC ON).

***

Tidak semua data citra satelit harus melalui semua tahapan pengolahan standar di atas, dimana hal tersebut sangat tergantung data citra satelit yang diolah. Sebagai contoh, tahapan pengolahan pansharpening tidak diperlukan untuk memperoleh data Citra Satelit Sentinel2A dengan tampilan warna natural dan warna semu yang melibatkan band inframerah dekat, berhubung bandband tersebut memiliki resolusi spasial tertinggi yakni 10 meter. Pengolahan mosaic, color balancing dan cutline juga tidak diperlukan jika jumlah data citra satelit yang diolah pada sebuah area hanya tercover oleh satu data citra satelit saja. Begitu juga dengan pengolahan cloud removing dan haze reduction yang dilakukan jika data citra satelit utama memiliki tingkat tutupan awan yang tinggi. Sama halnya dengan pengolahan fillgap, yang dilakukan hanya pada data original Citra Satelit Landsat 7 mulai dari tanggal perekaman 31 Mei 2003.

11). Format Penyimpanan Data Citra Satelit Hasil Olahan

Data citra satelit yang telah dilakukan tahap pengolahan, yang sebelumnya sudah dijabarkan, maka proses selanjutnya yaitu penyimpanan data.

Penyimpanan data dibuat dalam tiga format data yaitu GeoTIFF (.tif), Enhanced Compression Wavelet (.ecw), dan Keyhole Markup Language Zip (.kmz).

Data citra satelit dalam format GeoTIFF (.tif) merupakan data citra satelit tanpa mengalami kompresi (uncompressed). Format data ini ditujukan untuk pemetaan dan pengamatan detail objekobjek pada data citra satelit.

Data citra satelit dalam format ECW (.ecw) merupakan data citra satelit yang sudah mengalami kompresi (compressed). Tingkat rasio kompresi data citra satelit hasil olahan dapat dibuat dengan tingkat perbandingan sesuai keinginan kita. Namun jika ingin menjaga tingkat kedetailan, maka sebaiknya rasio dibuat 1:1 atau setidaknya tidak jauh dengan perbandingan tersebut, sehingga kualitas tampilan data masih terjaga. Data dalam format ECW memiliki ukuran file yang lebih kecil dibandingkan dengan format data GeoTIFF, oleh karena itu sangat baik digunakan untuk pengamatan secara cepat pada komputer tanpa mengurangi kualitas visual data.

Data citra satelit dalam format KMZ (.kmz) ditujukan supaya data citra satelit hasil olahan dapat dibuka dan dilihat pada aplikasi Google Earth.

***

Selain data citra satelit hasil olahan sebagai produk utama yang kami berikan kepada Anda yang order pembelian data original disertai pengolahannya, maka kami berikan juga beragam data lainnya sebagai data penunjang, tanpa harus keluar biaya tambahan, yaitu data-data sebagai berikut:

12). Poster & Preview

Kami membuatkan softcopy poster yang menampilkan tampilan data citra satelit hasil olahan warna natural pada bagian fokus area dan juga seluruh area order, seperti contohnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Poster Citra Satelit (All Area)

Gambar 35. Poster Data Olahan Citra Satelit Pleiades1B Warna Natural All Area
(Image Copyright: Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Poster Citra Satelit (Fokus Area)

Gambar 36. Poster Data Olahan Citra Satelit Pleiades1B Warna Natural Fokus Area
(Image Copyright: Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Poster Citra Satelit Olahan - Fokus Area

Gambar 37. Poster Data Olahan Citra Satelit Pleiades1A Warna NaturalFokus Area
(Image Copyright: Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Pembuatan poster dibuat dengan skala dan ukuran kertas custom, dengan memperhatikan skala lazim maksimal data citra satelit yang digunakan serta ukuran kertas yang umumnya dapat dicetak oleh mesin cetak.

Selain itu, kami membuatkan juga tampilan sekilas (preview) tampilan data citra satelit hasil olahan warna natural (natural color) dan warna semu/palsu (false color) dan informasi lainnya, serta preview bentuk cutline masing-masing data citra satelit yang diolah (kalau terdapat proses mosaic), seperti ditunjukkan gambar di bawah ini:

Preview Tiga Kombinasi Warna Data Citra Satelit Hasil Olahan

Gambar 38. Preview Tiga Kombinasi Warna Data Olahan Citra Satelit SPOT6 dan SPOT7
(Image Copyright: Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Preview Tanggal Perekaman Data Citra Satelit Hasil Olahan

Gambar 39. Preview Tanggal Perekaman Data Olahan Citra Satelit SPOT6 dan SPOT7
(Image Copyright: Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

13). Pembuatan Layout dan Map Book

Selain poster, kami juga membuat layout, namun dengan ukuran kertas yang sudah tetap, yakni A1 (59.4 cm x 84.1 cm)  atau A0 (84.1 cm x 118.9 cm).

Kami membuat layout 1 halaman untuk data citra satelit hasil olahan pada bagian fokus area dan keseluruhan area order dengan skala mengikuti ukuran kertas (A1 atau A0). Berikut ini contoh tampilan layout-nya:

Layout Ukuran A1 - Fokus Area

Gambar 40. Layout Data Olahan Citra Satelit Pleiades1B Warna Natural (Fokus Area) Pada Kertas Ukuran A1
(Image Copyright: Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Layout Ukuran A1 - All Area

Gambar 41. Layout Data Olahan Citra Satelit Pleiades1B Warna Natural (All Area) Pada Kertas Ukuran A1
(Image Copyright: Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Selain membuat layout 1 halaman dengan skala mengikuti ukuran kertas A1 atau A0, kami juga membuat layout dengan skala lazim maksimal dari sebuah data citra satelit pada kertas ukuran A1 atau A0. Jika ternyata dengan menggunakan skala lazim maksimal tersebut, tidak bisa dibuat dalam 1 halaman layout, maka kami membuat rangkaian seri layout (biasa disebut dengan map book) yang memuat keseluruhan area order dengan skala lazim maksimal pada ukuran kertas A1 atau A0, contohnya seperti gambar di bawah ini:

Map Book Layout Skala 2500 Ukuran Kertas A1 Halaman 25 dari 42

Gambar 42. Layout Data Olahan Citra Satelit Pleiades1B Warna Natural Skala 1 : 2,500 Halaman 25 dari 42 Halaman dengan Ukuran Kertas A1
(Image Copyright: Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Gambar 42 di atas memperlihatkan salah satu halaman (halaman 25) dari map book layout data olahan Citra Satelit Pleiades1B warna natural dengan skala 1 : 2,500, pada ukuran kertas A1.

Keseluruhan area order data citra satelit tersebut tercover oleh 42 halaman layout, yang dibuat berdasarkan turunan Indeks Peta RBI skala 1 : 50,000, seperti terlihat pada gambar di bawah ini:

Indeks Layout Citra Satelit Pleiades-1B Hasil Olahan Skala 2500 Ukuran Kertas A1

Gambar 43. Indeks Layout Data Olahan Citra Satelit Pleiades1B Warna Natural Skala 1 : 2,500 pada Ukuran Kertas A1
(Image Copyright: Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

14). 3D View

Data citra satelit merupakan data raster dalam format 2 Dimensi (2D) yang memuat informasi nilai koordinat pada sumbu X dan Y. Untuk sistem proyeksi Geografis, sumbu X memperlihatkan nilai koordinat pada bagian bujur/longitude, dan sumbu Y pada bagian lintang/latitude.

Tampilan 2D data citra satelit membuat perbedaan ketinggian tidak terlalu terlihat, semua seperti tampak datar. Untuk melihat bentuk topografi dari data citra satelit terutama pada area yang berbukitbukit ataupun ekstrem (terdapat area datar dan berbukitbukit dalam sebuah wilayah), maka kami membuatkan tampilan 3 Dimensi (3D View) dari data citra satelit hasil olahan warna natural.

Untuk membuat tampilan 3D dari data citra satelit, dapat diperoleh melalui pengolahan data citra satelit stereo yaitu data citra satelit yang diambil setidaknya dari dua posisi perekaman yang berbeda, dapat dari posisi nadir dan backward (belakang), nadir dan forward (depan), backward dan forward, atau dari tiga posisi sekaligus yakni nadir, backward, dan forward.

Terdapat kendala dalam pembuatan tampilan 3D menggunakan data citra satelit stereo yakni jarang tersedianya data citra satelit tersebut untuk wilayah di Indonesia. Dan kalaupun tersedia, maka tingkat tutupan awan data citra satelit stereo tersebut harus sangat rendah yang mendekati tidak terdapat tutupan awan sama sekali. Selain itu, harganya lebih tinggi dibandingkan pembelian data citra satelit dalam satu posisi perekaman.

Cara lain untuk membuat tampilan 3D data citra satelit hasil olahan yakni dengan melakukan overlay antara data citra satelit hasil olahan dengan DEM yang bertindak sebagai nilai input ketinggian (Z), seperti contohnya ditunjukkan gambar di bawah ini:

3D View Data Citra Satelit

Gambar 44. Tampilan 3 Dimensi (3D View) Data Olahan Citra Satelit Pleiades1B Warna Natural
(Image Copyright: Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Walaupun hasil yang diperoleh tidak sebaik dengan hasil pembuatan tampilan 3D dengan menggunakan data citra satelit stereo, namun tampilan 3D data citra satelit dengan bantuan penggunaan data DEM, dapat membantu untuk melihat secara global kondisi topografi pada area order data citra satelit.

Untuk data DEM sendiri, saat ini kami menggunakan data hasil pengolahan data DEMNAS dari BIG, yang dapat diperoleh secara gratis dan bebas. Data DEMNAS mempunyai resolusi spasial 0.27arcsecond atau jika dikonversi ke dalam satuan meter yakni sekitar 8 meter, dengan sistem proyeksi Geodetik dan datum vertikal menggunakan EGM 2008.  Data penyusun DEMNAS terdiri dari IFSAR (resolusi spasial 5 meter), TerraSARX (resolusi spasial 5 meter) dan ALOS PALSAR (resolusi spasial 11.25 meter), dengan menambahkan data Masspoint hasil stereoplotting.

Tampilan 3D data citra satelit akan semakin baik dan bagus, jika menggunakan data DEM yang mempunyai tingkat akurasi dan resolusi spasial yang tinggi, dengan tanggal perekaman yang tidak jauh berbeda dengan data citra satelit hasil olahan.

15). 3D Flythrough

Untuk memberikan visualisasi lebih baik dan menarik, hasil tampilan 3D dapat disajikan dalam bentuk video, seperti contohnya dapat dilihat pada video-video berikut ini:

16). Data DEM Original dan Pengolahannya

Digital Elevation Model (DEM) merupakan data digital topografi yang memuat informasi nilai koordinat dalam sumbu X, Y, dan Z.

Data DEM diperoleh melalui perekaman satelit dengan sensor aktif (menggunakan sumber tenaga yang berasal dari satelit itu sendiri) yang biasanya menggunakan teknologi RADAR (Radio Detection and Ranging), penggunaan laser melalui teknologi LiDAR (Light Detection and Ranging), ataupun pengolahan lebih lanjut dari data citra satelit stereo atau foto udara.

Kami ikut menyertakan data original dan hasil olahan DEMNAS dari Badan Informasi Geospasial (BIG) dengan resolusi spasial 0.27arcsecond atau jika dikonversi ke dalam satuan meter yakni sekitar 8 meter, dengan sistem proyeksi Geodetik dan datum vertikal menggunakan EGM 2008.  Data penyusun DEMNAS terdiri dari IFSAR (resolusi spasial 5 meter), TerraSARX (resolusi spasial 5 meter) dan ALOS PALSAR (resolusi spasial 11.25 meter), dengan menambahkan data Masspoint hasil stereoplotting, serta data DSM ALOS World 3D dari JAXA, yang mempunyai resolusi spasial kelas 30 meter, yang mencakup area order.

Dan berikut contoh tampilan data hasil olahan DEMNAS serta DSM ALOS World 3D:

Data Olahan DEMNAS

Gambar 45. Data Olahan DEMNAS
(Image Copyright: BIG; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Data Olahan DSM ALOS World 3D

Gambar 46. Data Olahan DSM ALOS World 3D
(Image Copyright: JAXA; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Perbandingan Data Olahan DEMNAS dan DSM ALOS World 3D

Gambar 47. Perbandingan Data Olahan DSM ALOS World 3D (Bagian Kiri) dengan DEMNAS (Bagian Kanan)
(Image Copyright: JAXA dan BIG; Courtesy of Map Vision Indonesia)

17). Kontur

Kontur merupakan garis khayal di permukaan bumi yang menghubungkan titik-titik dengan ketinggian yang sama.

Salah satu cara untuk mendapatkan data kontur yaitu melalui pengolahan data DEM, seperti ditunjukkan gambar di bawah ini:

Kontur dari DEMNAS

Gambar 48. Kontur dari Hasil Pengolahan Data DEMNAS dengan Kontur Interval 10 Meter
(Image Copyright: BIG; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Gambar 48 di atas memperlihatkan kontur dengan interval 10 meter yang dihasilkan dari hasil pengolahan data DEMNAS.

18). Kemiringan Lereng (Slope) dan Luasan Kelas Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng (slope) menunjukkan besarnya sudut yang terbentuk dari perbedaan ketinggian pada sebuah bentang alam, yang biasanya disajikan dalam satuan persentase atau derajat.

Salah satu cara memperoleh data kemiringan lereng (slope) yaitu melalui pengolahan data DEM, contohnya seperti ditunjukkan gambar di bawah ini:

Slope

Gambar 49. Kemiringan Lereng (Slope) Hasil dari Pengolahan Data Olahan DEMNAS
(Courtesy of Map Vision Indonesia)

Melalui pengolahan lebih lanjut, kami sajikan juga data luasan kelas kemiringan lereng dalam bentuk fomat data .dbf, serta Excel (.xlsx).

Kami juga membuatkan poster kemiringan lereng yang disertai dengan keterangan luasan kelas kemiringan lereng, seperti diperlihatkan contoh di bawah ini:

Poster Kemiringan Lereng

Perhitungan Luasan Kelas Kemiringan Lereng

Gambar 50. Poster Kemiringan Lereng Beserta Informasi Luasan Kelas Kemiringan Lereng
(Courtesy of Map Vision Indonesia)

Kami juga membuatkan poster data ketinggian yang bersumber dari data DEM, seperti diperlihatkan gambar di bawah ini:

Poster Data Ketinggian

Gambar 51. Poster Data Ketinggian yang Bersumber dari Data DEMNAS
(Image Copyright: BIG; Courtesy of Map Vision Indonesia)

19). Shaded Relief

Shaded Relief merupakan sebuah metode yang digunakan untuk mempresentasikan gambaran relief sebuah wilayah pada sebuah data raster yang masih dalam format 2D (2 Dimensi) dengan cara memberikan kesan 3D (3 Dimensi) pada data raster tersebut. Pemberian kesan 3D tersebut dapat dilakukan dengan cara pemberian teknik pencahayaan dan bayangan yang tepat pada sebuah data raster.

Saat ini pada umumnya pembuatan shaded relief sebuah wilayah menggunakan data Digital Elevation Model (DEM), dimana dengan pemberian teknik pencahayaan dan bayangan yang tepat akan menghasilkan kesan tampilan 3D (tiga dimensi) dari data DEM tersebut.

Efek shaded relief dapat dilakukan pada data citra satelit melalui penggabungan antara data citra satelit dengan data DEM yang telah diberi efek shaded relief, seperti contoh di bawah ini:

Citra Satelit SPOT 6 Hasil Olahan Warna Natural (Shaded Relief)

Gambar 52. Data Olahan Citra Satelit SPOT6 Warna Natural (Shaded Relief) Wilayah di Kab. Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Skala 1:25,000
(Image Copyright: Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

20). Mapping

Mapping merupakan pembuatan peta tematik hasil dari interpretasi serta digitasi data citra satelit hasil olahan.

Proses interpretasi dan digitasi dilakukan secara manual oleh intrepreter GIS kami yang telah berpengalaman, untuk menghasilkan peta hasil mapping yang berkualitas.

Terdapat tambahan biaya untuk pembuatan peta hasil mapping, dengan besaran biaya tergantung dari tingkat resolusi spasial data citra satelit hasil olahan yang digunakan, tingkat kedetailan peta hasil mapping, kondisi tutupan lahan dan penggunaan lahan di area order, dan lain-lain.

Peta Penggunaan Lahan dari Hasil Interpretasi Data Olahan Citra Satelit - Fokus Area

Gambar 53. Peta Penggunaan Lahan Hasil Mapping (Interpretasi dan Digitasi) dari Data Olahan Citra Satelit Pleiades1B pada Bagian Fokus Area
(Image Copyright: Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Peta Penggunaan Lahan dari Hasil Interpretasi Data Olahan Citra Satelit - Area Order Mapping

Gambar 54. Peta Penggunaan Lahan Hasil Mapping (Interpretasi dan Digitasi) dari Data Olahan Citra Satelit Pleiades-1B pada Bagian Area Order Mapping
(Image Copyright: Airbus Defence & Space; Courtesy of Map Vision Indonesia)

21). Estimasi Temperatur Permukaan Suatu Wilayah

Band thermal yang terdapat pada data citra satelit, dapat digunakan untuk melakukan estimasi temperatur permukaan sebuah wilayah. Seperti yang dapat dilakukan pada band thermal data Citra Satelit Landsat, Citra Satelit ASTER, ataupun data citra satelit lain yang diketahui mempunyai band thermal.

Sebagai contoh, pada data Citra Satelit Landsat 8, band thermal terdapat pada band 10 dan band 11. Namun nilai yang terkandung pada band thermal tersebut masih berupa data Digital Number (DN), dan bukan nilai temperatur permukaan wilayah tersebut. Oleh karena itu diperlukan pengolahan pada band thermal tersebut sehingga dihasilkan nilai temperatur permukaan.

Alur pengolahan band thermal supaya didapatkan nilai temperatur permukaan adalah sebagai berikut:
Digital Number (DN) -> TOA Radian -> Temperatur Satelit (Kelvin) -> Temperatur Satelit (Celcius) -> Temperatur Permukaan (Celcius)

Perubahan nilai Digital Number menjadi TOA Radian kemudian menjadi Temperatur Satelit (Kelvin), dapat dibaca secara lengkap pada situs NASA USGS pada link berikut ini:

http://landsat.usgs.gov/Landsat8_Using_Product.php

Seperti yang tertera pada link di atas, konversi nilai DN menjadi TOA Radian dapat dilakukan menggunakan perumusan sebagai berikut:

DN to Radians Band Thermal Citra Satelit Landsat 8

dimana:

Keterangan Rumus DN to Radians Band Thermal Citra Satelit Landsat 8

Sesudah didapatkan nilai TOA Radian, selanjutnya nilai tersebut dikonversi menjadi nilai temperatur kecerahan dari satelit, dengan menggunakan perumusan berikut:

Rumus Radians to Kelvin Band Thermal Citra Satelit Landsat 8

dimana:

emperatur Kecerahan Satelit

Untuk mengubahnya ke dalam bentuk Celcius, gunakan perumusan berikut:

Mengubah Satuan Kelvin jadi Celcius

Nilai yang didapat masih berupa temperatur kecerahan satelit. Untuk mengubahnya ke dalam nilai temperatur permukaan, dapat menggunakan perumusan sebagai berikut:

Nilai Temperatur Permukaan

dimana:

Keterangan Nilai Temperatur Permukaan

Nilai e atau emisivitas sendiri dapat diketahui dengan sebelumnya dilakukan proses NDVI, dengan perumusan sebagai berikut:

Perumusan Emisivitas

dimana:

NDVI

Dan, berikut contoh estimasi temperatur permukaan wilayah Kota Bandung dan sekitarnya hasil pengolahan data band thermal Citra Satelit Landsat 8 tanggal perekaman 10 September 2013:

Band 10 Citra Satelit Landsat 8

Gambar 55. Band 10 Data Citra Satelit Landsat 8 Wilayah Kota Bandung dan Sekitarnya
(Copyright: NASA USGS; Courtesy of Map Vision Indonesia)

Estimasi Temperatur Permukaan Menggunakan Data Citra Satelit Landsat 8

Gambar 56. Estimasi Temperatur Permukaan Wilayah Kota Bandung Menggunakan Band Thermal Data Citra Satelit Landsat 8
(Courtesy of Map Vision Indonesia)

Dari hasil pengolahan, terlihat wilayah Bandung bagian barat, tengah, dan sebagian besar utara, mempunyai temperatur permukaan lebih tinggi (diatas 30 derajat celcius) dibandingkan wilayah Bandung bagian timur ataupun selatan. Hal ini terkait dengan banyaknya area terbangun pada wilayah Bandung bagian barat ataupun tengah dibandingkan pada wilayah Bandung lainnya.

Terdapat tambahan biaya untuk pengolahan data citra satelit untuk mendapatkan estimasi temperatur permukaan suatu wilayah.

***

Untuk pengolahan data original citra satelit lain di luar yang telah kami jabarkan di atas, silahkan konsultasi terlebih dahulu dengan kami pada nomor WA/Telepon: 0878 2292 5861.

Belajar Pengolahan Citra Satelit Secara Mandiri (Otodidak)

Bagi Anda yang saat ini ingin mempelajari pengolahan data original citra satelit secara mandiri (otodidak), kami menjual ebook premium terkait hal tersebut. Untuk informasi lengkap, Anda dapat klik pada link berikut:

[Ebook Premium] Pengolahan Citra Penginderaan Jauh

Pengolahan Citra Penginderaan Jauh***

Semoga postingan mengenai Pengolahan Citra Satelit dapat memberikan Anda informasi yang detail mengenai berbagai pengolahan yang biasa dilakukan pada data citra satelit.

Jika Anda mendapat informasi yang bermanfaat dari postingan ini, silahkan share pada akun media sosial yang Anda miliki supaya kawan Anda mengetahui informasi berharga ini.

Jika ada yang ingin Anda tanyakan, silahkan berkomentar pada kolom komentar di bawah.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: